Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 14 September 2017

KPK dan Kedaulatan Bangsa//Nasib Petani (Surat Kepada Redaksi Kompas)

KPK dan Kedaulatan Bangsa

Melalui surat ini, saya ingin mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk menyempurnakan struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pertimbangannya, KPK secara struktur organisasi perlu fondasi yang sangat kuat untuk mendukung kerja atau operasi pemberantasan korupsi yang saat ini sudah mengancam demokrasi dan kedaulatan negara. Sekarang mafia koruptor ataupun oknum pejabat telah menguasai hampir semua badan dan sendi-sendi lembaga kenegaraan kita.

Dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, masing-masing sudah ada beberapa perwakilannya di penjara KPK. Partai politik paling banyak menyumbang oknum yang bercokol di pemerintahan. Oknum tangkapan KPK bukanlah kelas masyarakat biasa yang kena tilang polisi, melainkan sudah kelas pemimpin lembaga negara dan lembaga tinggi negara yang seharusnya ucapan dan tingkah laku kenegaraannya teladan bagi masyarakat.

Mereka berada di golongan pemegang kendali untuk membawa bangsa Indonesia ke masa depan. Betapa bahaya apabila mereka berhasil menghapus fungsi dan peran KPK. Sekarang saja oknum-oknum itu sudah hampir berhasil menanamkan opini di masyarakat bahwa korupsi adalah hak dan perilaku wajar bagi setiap pejabat dan pemimpin di Indonesia. Pembuktian terbalik perolehan harta kekayaan mereka merupakan momok menakutkan yang harus dihindari untuk dijadikan undang-undang. Mafia koruptor atau oknum sudah berhasil menghilangkannya dari agenda pembahasan undang-undang, bukan?

Struktur organisasi yang saya usulkan hanya penyempurnaan dari struktur KPK yang sudah ada. Tambahannya: (1) pelindung KPK terdiri dari Panglima TNI dan Kepala Polri; (2) pasukan pengamanan operasional tangkap tangan dan penggeledahan di lapangan terdiri atas semua perwakilan pasukan khusus di tiga angkatan TNI dan Polri.

Semoga Tuhan menjaga Indonesia dari kehancuran.

DJOKO MADURIANTO SUNARTO

Jalan Pugeran Barat, Yogyakarta

Nasib Petani

Tajuk Rencana Kompas, Rabu 6 September 2017, "Menyoal Kesejahteraan Petani", sungguh jawaban dan perhatian harian ini terhadap nasib petani. Kompas sekitar seminggu menurunkan laporan mengenai nilai tukar petani tanaman pangan yang tidak banyak beranjak.

Dituliskan bahwa dari waktu ke waktu Indonesia tak pernah melepas keinginan swasembada pangan. Ini hanya akan tercapai dengan memperhatikan nasib petani. Semakin ke sini nilai tukar komoditas primer tanaman pangan terhadap hasil industri semakin merosot. Harga 1 kilogram gabah kini jauh lebih rendah daripada sepasang seragam SD. Jelas dalam kenyataan, data statistik memperlihatkan makin sedikit anak petani tertarik bertani karena pendapatan pertanian pangan kalah dibandingkan dengan menjadi buruh pabrik.

Di berita lain disebutkan, realisasi anggaran subsidi pupuk meningkat terus dari Rp 14 triliun tahun 2012 menjadi Rp 31,3 pada 2015, pada 2016 dan 2017 dianggarkan Rp 30,1 triliun dan Rp 31,2 triliun, belum lagi subsidi benih dan lainnya.

Kisah menyedihkan petani selalu berulang. Mereka memerlukan dana pendidikan bagi anaknya, perlu Kartu Indonesia Pintar yang lebih merata, perlu dana pengobatan karena ada puskesmas tetapi dokter ahli adanya di kota besar. Mereka bukannya tak mengerti gizi, mereka mau konsumsi ikan laut, tetapi di daerahnya (seperti Indramayu) yang jaraknya hanya satu setengah jam dari pesisir pantai, pedagang ikan jarang singgah karena daya beli masyarakat tani lemah.

Banyak lagi cerita sedih, seperti mengapa mangga indramayu sekarang terasa asam. Apakah tanah kelebihan pupuk kimia sehingga kering sampai tanaman palawija tak tumbuh segar lagi?

Evaluasi atas kenyataan petani tetap buruh tani belum tersentuh. Saatnya kini petani menjadi wirausaha pertanian. Percayakanlah mereka melakukan aktivitas dengan pengalaman dan bakat yang sudah turun-menurun, mengolah tanah leluhurnya dengan hati.

Pemerintah hanya perlu menjaga dengan mengalihkan subsidi pupuk dan lainnya yang demikian besar dengan membeli hasil produksi dengan harga tinggi, minimal 300 persen harga sekarang, di samping infrastruktur dan kerja sama dengan perguruan tinggi untuk pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat agar petani tak lagi sekadar alat produksi.

JIMMY SANDJAJA

Tanjung Duren Selatan, Jakarta Barat

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger