Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 14 September 2017

Maju Mundur Penerapan HET Beras (M HUSEIN SAWIT)

Pemerintah telah menerbitkan peraturan terbaru dan menetapkan harga eceran tertinggi baru untuk beras yang berlaku sejak 1 September 2017.

Pemerintah menetapkan  harga eceran tertinggi (HET) beras yang dibedakan menurut kualitas beras dan wilayah produksi. Pemerintah juga menyiapkan sanksi bagi produsen dan pedagang yang menjual beras di atas HET.

Sejak Mei 2017 hingga kini telah ada tiga peraturan menteri perdagangan (permendag) yang mengatur hal yang sama. Bulan lalu, Permendag No 47/M-DAG/ PER/7/2017 dibatalkan karena menuai protes dan mengganggu arus perdagangan beras. Lalu, terbit Permendag No 57/M-DAG/ PER/8/2017 tentang HET Beras.

Dengan penetapan HET yang baru, diharapkan harga beras kualitas medium dan premium bisa dikontrol sehingga berpengaruh positif terhadap pengendalian inflasi pangan. Kalau inflasi rendah, suku bunga bisa ditetapkan rendah sehingga secara teoretis dapat mendorong investasi, yang selanjutnya dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.  

Akan tetapi, kalau penetapan HET tidak wajar dan dipaksakan untuk menekan margin pemasaran agar rendah, maka risiko usaha penggilingan padi (PP) dan pelaku usaha beras menjadi tinggi. Sebab, pengurangan margin tersebut bukan berasal dari peningkatan efisiensi pada kegiatan pemasaran, terutama pengeringan, transportasi, penggilingan, dan biaya modal. Lantas, bagaimana masa depan industri penggilingan padi kecil  (PPK) dan petani padi setelah penetapan HET?

Produsen beras

Pemerintah menetapkan perbedaan HET beras antarwilayah hanya mempertimbangkan ongkos angkut, padahal biaya pemasaran beras tidak hanya ongkos transportasi, tetapi juga harga dan kualitas gabah kering panen (GKP), biaya pengeringan dan penggilingan, biaya distribusi, serta biaya modal kerja yang berbeda  satu tempat dengan tempat lain meski di wilayah sama.

Harga beras juga dipengaruhi ongkos produksi. Biaya produksi beras per kilogram yang dihasilkan oleh usaha PPK cukup tinggi karena tingkat efisiensi relatif rendah, alat atau mesin PPK tak lengkap, banyak menghasilkan beras patah, rendemen rendah, dan kehilangan hasil tinggi. Hal sebaliknya terjadi pada penggilingan padi skala besar (PPB), apalagi usaha penggilingan padi terpadu modern. Biaya produksi sangat efisien karena penguasaan teknologi dan mampu berinovasi, berani membeli GKP pada harga berbeda sesuai dengan  kualitasnya, dan jalur pemasaran luas.

PP berjumlah sekitar 182.000 unit,   dominan adalah PPK (94 persen). PPK mengambil pangsa sekitar 80 persen dari total kapasitas giling mesin terpasang, sedangkan PPB (8 persen), sisanya PP skala menengah (PPM). Karena itu, secara tidak langsung dapat diperkirakan beras yang dihasilkan di Indonesia adalah dominan beras kualitas rendah dan medium.

Kualitas dan biaya produksi beras berbeda bergantung pada kelengkapan alat atau mesin dan tipe bisnis penggilingan padi itu sendiri, yang dikelompokkan atas dua: PP sebagai penjual jasa giling gabah serta PP sebagai produsen dan pedagang beras.

Perpadi (2016) memperkirakan, 41 persen (75.400 unit PP) adalah penjual jasa giling, umumnya PPK, dan sekitar 14 persen di antaranya adalah penggilingan padi kecil keliling (PPKL). PP penjual jasa tidak berdampak terhadap tinggi rendahnya harga GKP di pasar dan tidak berpengaruh serius terhadap penerapan HET karena mereka hidup dari menjual jasa yang dibayar dalam bentuk beras. Namun, di antara  PPKL dan PPK, penjual jasa saling berebut gabah dari rumah tangga petani, dan PPK menetap biasanya kalah bersaing.

PPKL lebih unggul karena melayaninya di depan rumah petani. Itu sebabnya banyak PPK pada kelompok bisnis ini yang tutup usaha kalaupun bekerja hanya satu-dua bulan per tahun. Di Sragen (Jawa Tengah), misalnya, kapasitas telantar PPK menetap penjual jasa giling lebih tinggi (63 persen). Bandingkan dengan PPKL hanya 56 persen (Universitas Sebelas Maret, 2017). Keberadaan PPKL telah berpengaruh buruk terhadap kualitas dan kehilangan hasil giling yang lebih parah dibandingkan dengan PPK umumnya, tetapi pemerintah lokal mendorong berkembangnya PPKL. Sekarang PPKL terus bertambah dan telah  mencapai sekitar 11 persen dari total PP.

Jumlah PP sebagai produsen atau pedagang beras sekitar 106.800 unit (59 persen). Kelompok bisnis ini terdiri dari  PPK, PPM, dan PPB. PPK pada umumnya berkonsentrasi sebagai produsen beras kualitas asalan, butir patah mencapai 30-35 persen, dan derajat sosoh sekitar 80 persen. Beras kualitas rendah ini dijual dan  diproses ulang oleh PPB yang memiliki alat/mesin lengkap sehingga dapat menghasilkan beras medium dan premium. Penerapan HET akan berdampak pada kelompok ini karena berpengaruh langsung pada biaya pemasaran beras yang akan tertekan dan risiko usaha jadi tinggi.

Demikian pula: PP dalam kelompok inilah yang kerap terjadi perebutan gabah. Kalau dilepas pada mekanisme pasar seperti sekarang ini, PPB lebih berhasil dalam memenangi persaingan karena mereka punya modal kerja cukup, teknologi pengeringan dan silo, serta menguasai pasar beras.

PPK  pada kelompok ini berproduksi hanya tiga-empat bulan per tahun karena tak cukup modal kerja, kesulitan memperoleh gabah, serta tempat penyimpanan gabah kurang memadai.  Kapasitas telantar PPK sebagai produsen beras ini relatif tinggi. Di Sragen, misalnya, kapasitas telantar PPK 48 persen. Bandingkan dengan  kapasitas telantar PPB hanya 11 persen (UNS, 2017). Namun, tak dapat disimpulkan semua PPB berhasil dalam usaha perberasan, banyak juga di antaranya yang tutup atau dijual/ganti pemilik. Modal dan tek- nologi serta penguasaan pasar tak cukup, ternyata manajemen usaha sangat menentukan berhasil tidaknya dalam berbisnis beras.

Perkiraan dampak

Berikut ini dicoba memperkirakan dampak HET serta sejumlah pertanyaan belum terjawab. Pertama, penyerapan gabah lesu pada musim panen raya nanti karena sejumlah PP produsen beras atau pelaku usaha akan mengurangi daya serap gabah yang disebabkan perbedaan harga beras antarmusim dan antartempat tidak menarik lagi buat mereka. 

Katakan terjadi pengurangan penyerapan 20 persen, pertanyaannya: sanggupkah Bulog mengambil alih sebagian peran swasta ditambah kemampuan penyerapan hingga mencapai sekitar 30 persen? Apabila Bulog belum mampu, maka harga GKP tingkat petani akan jatuh lebih dalam pada areal yang lebih luas dan lama waktunya.  Sebaliknya, kalau Bulog mampu, pertanyaannya adalah mau diapakan gabah/beras yang diserap sebanyak itu dengan potensi kerugian akibat turun mutu dan susut?

Kedua, kalau harga GKP dapat tertekan mendekati Rp 3.700 per kg, maka PPK produsen beras/pedagang beras medium dan asalan masih dapat beroperasi karena ada insentif pada tingkat HET Rp 9.450. Namun, petani akan protes, terutama petani di wilayah defisit, yang umumnya berbiaya produksi gabah lebih tinggi karena produktivitas rendah. Apabila ini berlangsung beberapa musim, areal tanam padi akan menyusut, swasembada beras dapat terganggu.

Ketiga, kalau harga GKP tak bisa ditekan dan tetap bertengger tinggi Rp 4.700 per kg atau lebih, maka petani tentu merasa terbantu, tetapi PPK produsen beras/pelaku usaha akan merugi. Sebagian mereka kemungkinan besar akan keluar dari kegiatan bisnis beras atau menutup usaha.  Kalau ini terjadi, pertanyaannya: wajarkah industri  perberasan berkorban terlalu besar demi inflasi? Sebaiknya pemerintah mengantisipasi semua kemungkinan itu dan mencari jalan keluarnya.

M HUSEIN SAWITDEWAN PEMBINA PERHEPI; NARASUMBER TETAP DI HOUSE OF RICE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Maju Mundur Penerapan HET Beras".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger