Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 12 September 2017

Membenahi Ekonomi Perberasan (BUSTANUL ARIFIN)

Setelah hampir tiga tahun, kebijakan ekonomi perberasan Kabinet Kerja seakan tak beranjak signifikan. Strategi peningkatan produksi dan stabilisasi harga beras belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2014-2019 dan arahan Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas Pangan, 26 Januari 2017, belum bisa dilaksanakan dengan baik. Kementerian Pertanian diberi mandat "menentukan strategi besar produksi dan strategi (pembangunan) pertanian, menghasilkan produk pertanian yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi, melindungi petani, dan memberikan pilihan (tanaman) agar pendapatannya naik". Kementerian Perdagangan diberi tugas "menghasilkan desain (kebijakan) yang mampu memberikan harga yang benar dan normal ke konsumen". Kemenko Perekonomian diminta "menghasilkan kesamaan visi terkait produktivitas, daya saing, dan peningkatan kesejahteraan."

  Peningkatan produksi padi yang dilaporkan naik ternyata belum banyak berarti karena kesejahteraan petani menurun. Upaya stabilisasi harga beras yang dibanggakan pada Ramadhan dan Idul Fitri tak berdampak  pada kesejahteraan masyarakat. Jumlah orang miskin naik 6.900 orang pada publikasi BPS, Agustus 2017. Keterlambatan penyaluran beras kepada keluarga prasejahtera (rastra) awal 2017 berdampak signifikan karena pangsa konsumsi beras kelompok miskin masih 23 persen. Upaya  penegakan  hukum  ekonomi beras yang melibatkan swasta besar  justru menimbulkan kegaduhan baru yang tak produktif.

   Artikel ini menganalisis perjalanan ekonomi perberasan dari dimensi produksi dan stabilisasi harga selama era Jokowi- Kalla. Dalam sisa waktu tersedia, pemerintah masih memiliki kesempatan memperbaiki substansi kebijakan perberasan yang mampu membawa kesejahteraan.

Produksi superintensif

Upaya khusus untuk meningkatkan produksi padi, jagung, dan kedelai (Upsus Pajale)  belum mampu meningkatkan nilai tukar petani (NTP). NTP turun 2,3 persen selama pemerintahan Kabinet Kerja dari 102,87 pada Oktober 2014 menjadi 100,65  pada Juli 2017. Benar, NTP tak menggambarkan kesejahteraan petani secara paripurna karena hanya didasarkan indeks harga yang diterima petani dibandingkan dengan harga yang  dibayar petani.

Namun,  dengan  alokasi anggaran  untuk Kementan Rp 27,6 triliun  pada 2016 dan Rp 22,1 triliun pada 2017, penurunan angka NTP dan upah buruh riil tak bisa dianggap ringan. Upsus Pajale dilaksanakan lewat pengembangan/rehabilitasi jaringan irigasi tersier (RJIT), optimasi lahan, gerakan penerapan pengelolaan tanaman terpadu (GP-PTT), penyediaan bantuan benih, pupuk, alat-mesin pertanian, serta pengawalan/pendampingan oleh lembaga universitas dan militer. 

Subsidi pupuk tetap jadi andalan pemerintah untuk peningkatan produksi. Anggaran subsidi meningkat dari Rp 30,1 triliun pada 2016 menjadi Rp  31,2 triliun pada 2017. Banyak studi yang menunjukkan subsidi pupuk kini tak efektif lagi untuk meningkatkan produksi padi. Bahkan, di banyak tempat terjadi penggunaan pupuk berlebih dan kelangkaan yang merisaukan (Arifin, 2014). Komponen biaya pupuk hanya 10,4 persen dari total biaya produksi padi sawah, 12 persen dari biaya produksi jagung, dan 4,8 persen dari biaya produksi kedelai (BPS, 2016).

Komponen terbesar biaya usaha tani padi adalah biaya tenaga kerja, hingga membuat total biaya produksi padi di Indonesia lebih mahal 2,5 kali dari Vietnam (IRRI, 2016). Akibatnya, harga beras di Indonesia lebih mahal daripada harga di tingkat internasional. Pada Oktober 2014, harga rata-rata beras tingkat grosir jenis IR-64 kualitas medium Rp 8.141 per kg dan meningkat menjadi Rp 9.014 per kg pada Juni 2017. Harga itu lebih mahal 1,7 kali dari rata-rata internasional untuk jenis atau kualitas Thai Broken 15 persen. Harga beras internasional hanya Rp 5.221 per kg pada Juni 2017 walau telah meningkat dari Rp 4.445 per kg pada Oktober 2014.

Di tingkat eceran, harga rata-rata beras Indonesia Oktober 2014 adalah Rp 11.522 per kg, melonjak signifikan 14 persen menjadi Rp 13.125 per kg. Selama 2017, harga eceran beras tak naik secara berarti sehingga laju inflasi terkendali 4,37 persen, termasuk yang didorong oleh volatilitas harga pangan hanya 2,17 persen.

Namun, harga beras yang telanjur tinggi justru lebih banyak memukul buruh tani dan mereka yang tak punya lahan. Upah buruh riil turun dari Rp 38.955 per hari pada Oktober 2014 menjadi Rp 37.396 pada Juni 2017. Program pembangunan pertanian banyak yang belum menjangkau buruh tani dan petani tak bertanah. Apalagi, mereka tak menerima subsidi pupuk, subsidi benih, bantuan traktor, dan alat mesin pertanian lain.

Jumlah petani kecil yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar mencapai 14,4 juta (56 persen) rumah tangga petani (RTP), memiliki lahan 0,5-1 hektar mencapai 4,5 juta RTP (17,4 persen), memiliki lahan 1-2 hektar 3,7 juta RTP (14,3 persen), dan petani kaya dengan lahan lebih dari 2 hektar 3,1 juta RTP (12,4 persen) (BPS, 2014). Dengan struktur dan profil petani di atas, sekian macam program pertanian cenderung hanya dinikmati bukan oleh petani kecil, melainkan petani dengan kepemilikan lahan luas. 

Pola usaha tani superintensif padi tiga kali setahun (Indeks Pertanaman, IP 300) yang harus dilakukan petani terbukti tak efektif meningkatkan produksi, bahkan mengundang strain baru dari hama wereng dan tikus yang sudah menyerang banyak sentra produksi padi. Produksi superintensif itu tak mampu meningkatkan kapasitas produksi dan tak mengarah pada perubahan teknologi pertanian, yang amat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas. Petani sebenarnya cukup paham bahwa pola tanam superintensif, apalagi dengan aplikasi pupuk kimia dan pestisida tak terkontrol, bisa mengganggu keseimbangan ekologis.

Petani justru perlu didampingi penyuluh pertanian yang andal untuk memecahkan rendahnya kapasitas produksi di atas. Penyuluh perlu menjadi sahabat petani, tempat bertanya dan tukar pikiran, bukan petugas yang hanya mementingkan target-target peningkatan luas tambah tanam (LTT). Peningkatan kapasitas produksi pertanian akan tercapai jika disertai adopsi inovasi dan adaptasi teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas, termasuk yang mampu memulihkan kesehatan tanah serta meningkatkan bahan organik dalam tanah dan keberlanjutan usaha pertanian.

Stabilisasi harga

Mandat tentang harga beras yang "benar dan normal" memang perlu diterjemahkan secara bijak, dengan tetap memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk mendapat keuntungan yang wajar. Pemerintah perlu memperbaiki governansi atau tata kelola rantai perdagangan beras ini, bukan menakut-nakuti dengan harga eceran tertinggi (HET), yang berakibat kontraproduktif. Pertemuan pelaku usaha dengan pemerintah selama dua hari tentang basis perhitungan biaya produksi beras dan harga acuan eceran tingkat konsumen belum menemukan titik temu.

Pemerintah mengusulkan HET beras medium Rp 9.000 per kg dan beras premium Rp 11.500 per kg, tetapi belum disetujui pedagang, industri, dan penggilingan beras. Banyak yang khawatir terjadi penggerebekan beras di pasar yang terjual di atas harga acuan.

Indonesia masih menggunakan instrumen kebijakan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Dalam inpres ini, harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) ditetapkan Rp 3.700 per kg, gabah kering giling (GKG) Rp 4.600 per kg, dan beras Rp 7.300 per kg sepanjang memenuhi syarat-syarat teknis tertentu.

Misalnya, kadar air maksimum 14 persen, butir patah maksimum 20 persen, kadar menir 2 persen, dan derajat sosoh minimum 95 persen. Namun, sepanjang 2017 dan sebagian besar 2016, harga GKP dan GKG tak pernah di bawah HPP. Harga rata-rata GKP Juni 2017 Rp 4.570 per kg dan GKG Rp 5.549 per kg, sangat jauh dari harga referensi pada Inpres No 5/2015. Harga eceran beras Juli 2017 tercatat Rp 13.125 per kg, sangat jauh dari HPP Rp 7.300 per kg di tingkat petani dan lebih tinggi daripada harga acuan penjualan di konsumen Rp 9.500 dalam Permendag Nomor 27 Tahun 2017 yang lama. 

Harga beras di pasar internasional juga cenderung naik karena pasokan tersendat. Di dalam negeri, cadangan beras pemerintah untuk tujuan stabilisasi harga dan kebutuhan darurat lain masih cukup kecil. Perum Bulog diberi tugas melakukan pengadaan beras 850.000 ton hingga akhir 2017. Angka itu ekuivalen dengan pengadaan beras harian 10.000 ton, yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pengadaan beras dalam negeri rata-rata 3.000 ton per hari karena pasokan yang terbatas. Harga pembelian beras oleh Perum Bulog dinaikkan menjadi Rp 8.030 per kg dengan harapan target-target di atas bisa tercapai. Mungkin saja target pengadaan beras juga akan dipenuhi dari impor, mengingat beras untuk rastra secara perlahan akan diubah menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT).

Selama hampir tiga tahun Kabinet Kerja, Indonesia telah mengimpor beras 2,78 juta ton dengan nilai devisa 1,19 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 15,88 triliun (Laporan Data Bulanan Sosial Ekonomi BPS edisi Agustus 2017).  Volume impor beras terbesar terjadi pada 2016, yaitu 1,28 juta ton, senilai 532 juta dollar AS atau Rp 7,1 triliun, sebagai konsekuensi logis dari El Nino atau kekeringan pada 2015. Pada 2017, impor beras Indonesia hingga Juni tercatat 131.000 ton senilai 65,6 juta dollar AS atau Rp 876 miliar. Masyarakat awam perlu mempersiapkan mental jika ternyata Indonesia masih akan impor beras lagi.

Pembangunan pertanian memerlukan suatu akselerator pertumbuhan dan perubahan modal manusia (human capital) serta akselerator perubahan kelembagaan dan teknologi. Misalnya, pemerintah perlu memfasilitasi tumbuhnya kewirausahaan petani, model bisnis padi yang terintegrasi dan memberdayakan petani kecil untuk melakukan konsolidasi manajemen padi dan beras, serta pengelolaan lahan berbasis masyarakat. Pemerintah juga perlu memfasilitasi investasi baru penggilingan beras skala besar dan menengah, disertai konsolidasi penggilingan skala kecil sesuai dengan ketersediaan bahan baku dan infrastruktur pendukung.

Kredibilitas stabilisasi harga perlu didukung dengan landasan kebijakan perberasan yang baru, perbaikan dari Inpres No 5/2015 yang tak hanya bervisi stabilisasi harga beras, tetapi juga mampu mengembangkan sistem rantai nilai yang lebih baik dan kredibel. Jika pemerintah berketetapan hati menetapkan harga acuan beras multikualitas, setidaknya dua-tiga kualitas beras premium dan medium, pemerintah perlu menjamin bahwa struktur penegakan masih cukup kondusif bagi bisnis beras dan perbaikan kesejahteraan secara umum.

BUSTANUL ARIFIN

Guru Besar Unila dan Ekonom Senior Indef

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Membenahi Ekonomi Perberasan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger