Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 11 September 2017

Memperkuat Islam Kebangsaan (MASDAR HILMY)

Memasuki 72 tahun RI merdeka, ada baiknya kita memperkokoh formula Islam kebangsaan yang eksistensinya mulai digerogoti sekelompok kecil masyarakat kita yang dilanda kelimbungan dan disorientasi ideologis akibat keterpesonaan mereka pada ideologi transnasional.

Memang pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 yang berisi larangan penyebaran berbagai bentuk ideologi yang bertentangan dengan dasar-dasar kenegaraan kita (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika). Namun, pelarangan semata tanpa dibarengi penguatan fondasi falsafah bernegara yang rasional, legitimate, dan otoritatif tidak akan mampu menahan derasnya laju kritisisme publik atas konsep dan praktik kenegaraan kita, baik yang bernuansa ideologis maupun non-ideologis.

Harus diakui, sejumlah persoalan serius masih membelit bangsa ini yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai sasaran empuk kritisisme publik, seperti wabah korupsi, tingginya rasio gini, angka kemiskinan, pengangguran, dan sejumlah persoalan lainnya. Melalui berbagai persoalan inilah, perlawanan terhadap formula Islam kebangsaan dibangun dengan "membajak" narasi agama untuk memperkuat argumentasi ideologis mereka.

Kontradiksi abadi?

Konsep kebangsaan-kenegaraan Indonesia, dalam derajat tertentu, sebenarnya merepresentasikan antitesis terhadap PJ Vatikiotis (2016) yang menyebut konsep negara-bangsa (nation- state) di dunia Islam sebagai enduring contradiction (kontradiksi abadi). Melalui pengamatannya terhadap dinamika pemikiran Islam dan pergolakan geopolitik Timur Tengah, Vatikiotis menyebut negara-bangsa sebagai konsep yang khas Barat sekaligus asing di dunia Islam. Oleh karena itu, menjadi bisa dipahami jika transplantasi konsep negara- bangsa di dunia Islam memantik terjadinya gelombang resistensi.

Gelombang resistensi terhadap konsep negara-bangsa di dunia Islam dapat dibaca dan diidentifikasi sebagai penolakan umat Muslim atas berlakunya pemikiran yang tidak merepresentasikan autentisitas kedirian (al-asalah al-nafsiyah). Menurut sebagian besar Islamis, seperti Sayyid Qutb dan Hasan al-Banna, Islam adalah din (agama) dandawlah (negara) sekaligus yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Dalam konteks ini, konsep negara- bangsa cenderung memisahkan antara realitas agama dan realitas negara melalui paham sekularisme yang dianggap sebagai satu paket dengan konsep negara- bangsa.

Terlepas dari realitas penentang konsep negara-bangsa, pandangan Vatikiotis itu jelas kontradiktif dengan apa yang tengah terjadi dan diterapkan di negeri ini, sebuah eksperimentasi pemikiran dan aksi politik yang dapat menyandingkan antara Islam dan konsep negara-bangsa secara elegan melalui formula "Islam kebangsaan".

Melalui sentuhan "tangan dingin" para pendiri bangsa (founding fathers), konsep dan rancang bangun negara-bangsa kita terbukti sangat relevan dengan, sekaligus mewadahi, nilai-nilai universal agama-agama yang ada. Akibatnya, semakin dalam nilai- nilai agama digali dari konsep negara-bangsa kita, sebenarnya semakin religius bangunan kenegaraan kita.

Oleh karena itu, pengalaman Indonesia jelas berbeda, dan bahkan bertentangan dengan apa yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya yang terus dilanda pergolakan, konflik dan instabilitas politik tiada henti. Hal ini terjadi akibat tarik-menarik dua kutub pemikiran yang berlawanan: kaum tekstualis-literalis dan kaum kontekstualis-progresif dalam memaknai konstruksi kenegaraan mereka. Dalam konteks inilah, penguatan Islam kebangsaan diharapkan dapat memantapkan konsep dan praktik negara-bangsa yang khas Indonesia dan dapat menular ke negara-negara Islam di Timur Tengah.

Jebakan terminologis

Hal utama yang harus dilakukan dalam rangka menguatkan formula Islam kebangsaan adalah mengidentifikasi jebakan-jebakan yang sering menjadipoint of dispute di kalangan umat Muslim tentang formula bernegara paling otentik. Setelah berhasil diidentifikasi, barulah kita menyusun strategi keluar untuk meminimalkan pertengkaran-pertengkaran yang tidak perlu agar kita bisa fokus mengejar berbagai ketertinggalan. Dari sekian banyak jebakan yang ada, salah satu jebakan paling "mematikan" yang sering menjadi titik pertengkaran bangsa adalah jebakan terminologis.

Yang dimaksud dengan jebakan terminologis adalah permainan kata-kata sebagai bentuk ekspresi politik identitas bagi kelompok keagamaan tertentu yang kemudian membentuk epistemic blockyang bersifat memecah dan fragmentatif secara sosiologis. Selama ini, istilah-istilah yang sering memicu pertengkaran publik adalah negara agama, negara Islam, syariat Islam, negara khilafah dan semacamnya. Istilah-istilah tersebut terbukti telah menyedot energi bangsa ini ke dalam labirin perdebatan publik yang panjang dan tak berujung.

Dalam konteks negara-bangsa, formula Islam kebangsaan yang terjiwai dalam Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya merupakan manifestasi dari nilai-nilai universal yang berlaku di semua agama. Tak ada satu pun butir- butir penjelasan dari keempat "pilar" di atas yang bertentangan dengan nilai-nilai universal agama. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaannya, umat Muslim di negeri ini harus berani menyatakan bahwa Indonesia adalah negara paling Islam(i) di dunia.

Sayangnya, kebanyakan dari kita sudah telanjur "alergi" dengan berbagai istilah pejoratif di atas. Bahkan, kebanyakan tokoh kita selalu merepetisi dua jenis kesalahan kolektif berikut; pertama, Indonesia bukanlah negara agama (Islam) dan bukan negara sekuler. Ketidakjelasan posisi ini jelas menyisakan ruang kosong yang mendorong munculnya sikap-sikap resistan dari sekelompok kecil Islamis yang selalu ingin mendirikan sebuah bentuk negara yang dianggapnya lebih menjamin sense of authenticity, yakni "negara Islam" dalam pengertian yang klasik, literal, dan tekstual.

Kelompok kecil inilah yang secara terus-menerus berusaha untuk mengislamkan (kembali) masyarakat dan struktur negara yang dianggapnya telah melenceng dari syariat Allah. Mereka menyebut Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai taghut(sesembahan selain Allah) yang bisa mendangkalkan akidah. Selain itu, mereka juga menyebut sistem politik demokrasi sebagai bentuk pemberontakan atas kedaulatan Tuhan. Padahal, dilihat dari substansi ajaran, Indonesia adalah (salah satu) negara paling Islami di dunia. Umat Muslim dapat menjalankan segala bentuk ibadah (lima rukun Islam) tanpa ada kendala dan tekanan dari siapa pun. Karena itu, tidak ada lagi yang perlu diislamkan.

Kesalahan kedua adalah penegasan bahwa agama tidak mengatur bentuk final negara, hanya karena kitab suci tidak menyebut secara definitif-literal bentuk negara yang dikehendaki agama. Penegasan semacam ini hanya akan mengesankan bahwa apa yang dipraktikkan Indonesia tidaklah Islami karena tidak ada panduannya dalam kitab suci, sekaligus mendorong kaum literalis untuk mencomot satu-dua ayat untuk melegitimasi jalan pikiran mereka.

Mestinya, para tokoh bangsa perlu menegaskan sebaliknya bahwa realitas kehidupan berbangsa-bernegara yang dipraktikkan di negeri ini-meminjam Clifford Geertz (1973)-merupakan representasi dari model of bernegara sebagaimana diidealkan oleh kitab suci; sementara itu, kitab suci merupakanmodel for bernegara bagi negeri ini. Hal demikian dimaksudkan untuk menutup peluang bagi kaum literalis agar tidak lagi mencari- cari model yang bersifat harfiah tentang formula bernegara-berbangsa.

 MASDAR HILMY

Guru Besar dan Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Memperkuat Islam Kebangsaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger