Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 16 September 2017

Menepuk Air di Dulang (BENI SETIA)

Akar dan insting untuk sewenang-wenang berkorupsi terkadang disangkutkan dengan asumsi Lord Actyon, setidaknya dengan premis berbunyi, "kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut benar-benar korup".

Di titik ini kita seperti selalu diingatkan, kekuasaan mutlak, yang tak diawasi dan tak memiliki pengawas yang berwibawa dan lebih kuasa, bisa membuat seseorang atau satu lembaga berbuat sekehendak hati dan malahan korupsi.

Di kasus terbatas, khususnya Indonesia, komposisi satu lembaga tanpa pengawasan-atau tak transparan sehingga tak bisa diawasi setiap pihak-akan membuat lembaga itu menjadi suatu superbody yang tak bisa dikendalikan. Karena itu, ia tak terkendali, setidaknya-apabila lembaganya yang masih bisa dikendalikan-menyangkut orang-orangnya yang tak terkendalikan meski sebagian dari mereka masih berkecenderungan idealistik. Di sini, friksi itu bisa jadi indikasi untuk menunjukkan kalau lembaga itu sedang mengalami pembusukan meski mungkin proses tersebut baru separuh tumbuhnya.

Itu tampaknya sedang digali oleh Panitia Angket DPR terhadap KPK dengan media aplikasi penelitian hak angket. Panitia angket-ketika KPK dengan sangat berani menunjukkan keterlibatan anggota atau sebagian anggota DPR dalam korupsi KTP elektronik sehingga terlihat dan nyaris terbukti kalau DPR itu busuk-coba membuktikan dan menunjukkan kalau KPK juga busuk.

Meski tak berani langsung menuduhnya korup, setidaknya panitia angket ingin menunjukkan bahwa sebagian dari pimpinan KPK terlibat korupsi. Bahkan, pada periode sebelumnya, sebagian dari pimpinan dan penyidik KPK itu diperlihatkan terlibat tindakan pelanggaran hukum, dengan memanggil dan meminta pengakuan negatif dari para terpidana yang telah terbukti salah secara hukum, yang kasusnya ditangani KPK.

Lalu, penyelidikan memuncak pada "temuan" fakta tentang adanya friksi di antara penyidik KPK.  Juga ada satu upaya untuk menggarisbawahi indikasi bahwa memang ada tekanan selama penyidikan dan karena itu si terdakwa berhak mencabut pengakuannya. Pertanyaannya, untuk apa semua itu?

Pertama, agar pencabutan kesaksian/keterangan (Miryam S Haryani) dibenarkan dan karena itu kasus (korupsi) beberapa anggota DPR akan stop sampai di sana. Atau, setidaknya tidak (harus) menyeret lebih banyak lagi anggota DPR.  

Kedua, akan terbukti ada dan diperkirakan akan banyak anggota DPR lain yang terlibat dan karena itu sebaiknya upaya pemberantasan korupsi tersebut dihentikan di sana. Sebab, kenyataan itu akan merusak kesakralan lembaga DPR.

Ketiga, kalau KPK ingin mempermalukan DPR sehingga DPR jadi busuk, DPR juga berhak mempermalukan KPK dan malah punya media untuk mempermalukan KPK. Niatan itu perlahan mengkristal dan terbentuk, bahkan menggumpal menjadi gagasan untuk sementara waktu membekukan KPK.

Di titik lain, pada dasarnya ini adalah perang terbuka. Bukan hanya antara DPR dan KPK, melainkan mengkristal antara perkeliruan dan yang idealistik.  Jadi, ada semacam cara untuk mempermalukan lawan-seperti lomba menepuk air di dulang saja- antara KPK dan Panitia Angket sebagai ujung tombak dari DPR dan parpol di latar belakang.

Hal ini menunjukkan, hak angket DPR (baca: fraksi dan parpol) itu tak berkaitan dengan rakyat, apalagi untuk kepentingan rakyat. Rakyat justru sangat ingin menekan korupsi ke kisaran nol dan juga menginginkan agar lembaga negara tak menjadi superbody yang corrupts absolutely. Bahkan, mereka tak ingin melihat sebuah lembaga negara yang menjelma menjadi lembaga yang sangat bisa mengontrol apa pun -langsung atau tidak-dan tak ingin dirinya sembarang ditelisik dan diawasi, terlebih didakwa dan terbukti bersalah sehingga dihukum.

Celakanya, inilah yang sedang terjadi. Bahwa, DPR sedang menunjukkan diri sebagai yang kuasa dan bisa berkuasa, dan karena itu (sebenarnya) ia sedang bergerak untuk menjadi lembagasuperbody, yang cenderung menjadi sang absolute power. Dan, kini rakyat hanya tinggal tertawa atau langsung muntah darah.

BENI SETIA

PENGARANG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Menepuk Air di Dulang".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger