Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 19 September 2017

Menjelang Krisis Migas (JUNAIDI ALBAB SETIAWAN)

Situasi global berkenaan dengan industri migas sungguh tidak lagi dapat dihitung dan diprediksi hanya dengan perangkat ilmu ekonomi. Sekalipun kebutuhan akan migas semakin meningkat dari tahun ke tahun, tetapi-seolah berlawanan dengan hukum penawaran dan permintaan-harga migas global justru terus-menerus mengalami penurunan. Situasi itu tentu memukul industri hulu migas dunia sehingga industri ini menjadi kurang bergairah.

Indonesia tidak terkecuali menerima imbas dari ketidakpastian itu. Sekalipun kebutuhan BBM dalam negeri semakin meningkat, produksi terus menurun dari waktu ke waktu. Berbagai kebijakan pemerintah telah dikeluarkan-bahkan  diganti dan direvisi-dengan maksud guna menggairahkan investasi di hulu migas, tapi upaya itu belum mampu menarik para investor. Situasi ini diperberat dengan "kebijakan BBM satu harga" di seluruh wilayah negeri, termasuk di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang bertujuan mulia (Permen ESDM No 36/2016). Sekalipun kebijakan ini dikatakan oleh Pertamina "bukan soal untung dan rugi" (Kompas, 19/12/2016), kebijakan itu secara ekonomi barang tentu menambah beban keuangan negara (Pertamina), mengingat beragamnya tingkat kesulitan distribusi akibat alat, lokasi, dan infrastruktur yang berbeda-beda di sejumlah wilayah Tanah Air. 

Situasi ini tampaknya tidak semata soal ekonomi, tetapi meliputi aspek lain, terutama konstelasi politik global. Jika situasi ini tidak segera dicarikan jalan keluar dan dihadapi dengan cara ekstra hati-hati dengan perangkat pengetahuan dan lintas disiplin keilmuan, Indonesia akan segera memasuki era krisis migas dan semakin bergantung kepada pihak luar.

Kilas perkembangan

Indonesia pernah merasakan zaman keemasan saat masih  memiliki cadangan migas yang cukup pada 1970-an. Namun, saat ini secara perlahan tapi pasti produksi migas terus  mengalami penurunan. Indonesia semula adalah negara kaya minyak dan pernah  menjadi anggota OPEC, tetapi kini bergeser menjadi negara pengimpor akibat kebutuhan migas jauh melampaui hasil produksi.

Dahulu cadangan minyak Indonesia yang sudah terbukti mencapai sekitar 27 miliar barrel. Namun, kini per Desember 2015, tinggal menyisakan cadangan sekitar 3,6 miliar barrel, setara dengan 0,2 persen cadangan minyak dunia. Data Badan Pusat Statistik yang dipublikasikan awal 2017 juga menunjukkan  produksi minyak mentah dan kondensat berangsur-angsur menurun (natural decline). Pada 1996, produksi minyak mentah dan kondensat mencapai 548,648 juta barrel, pada 1999 menjadi 494,643 juta barrel, dan pada 2015 jadi 386,814 juta barrel.   Cadangan gas Indonesia pun tak lebih banyak daripada minyak. Menurut BP Statistical Review of World Energy pada 2015, saat ini Indonesia memiliki cadangan gas di kisaran 100 TSCF, setara dengan 1,5 persen cadangan gas dunia (Kompas, 18/8/2016), suatu penurunan cadangan yang cukup drastis.

Saat ini  pengelolaan dan pemanfaatan migas di Indonesia menghadapi beberapa kendala. Pada sisi pasokan kendala itu berupa penurunan jumlah cadangan, mahalnya biaya eksplorasi dan eksploitasi, lamanya masa penemuan ke produksi (first oil) antara 13-15 tahun, serta iklim investasi yang kurang mampu menarik investor. Jika ingin meningkatkan produksi migas, menurut Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), Indonesia harus bersaing ketat untuk memperebutkan  alokasi dana investasi migas dunia yang sangat kecil.

Pemerintah tampaknya juga sedang berpikir keras untuk meningkatkan produksi migas dengan berbagai kebijakan yang bertujuan guna meningkatkan pendapatan negara sekaligus menarik investor. Di antaranya menerbitkan Permen ESDM No 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Melalui skema ini, pemerintah berharap dapat memicu efisiensi pengelolaan biaya, menyederhanakan birokrasi, serta mempercepat dan mengefektifkan eksplorasi juga eksploitasi. Namun, kebijakan baru yang membebankan biaya operasi sepenuhnya kepada kontraktor ini ternyata juga kurang mendapatkan sambutan positif dari kalangan kontraktor kontrak kerja sama (K3S). Mengingat saat ini industri migas sedang menghadapi masa sulit, kalangan K3S juga sedang berusaha menurunkan biaya dan meningkatkan efisiensi operasional agar dapat bertahan. Jadi, wajar jika sekarang terjadi penurunan nilai investasi dari tahun ke tahun, dari 15,34 miliar dollar AS pada 2015 menjadi 11,02 miliar dollar AS pada 2016.

Belum lagi Permen ESDM No 8/2017 ini berusia seumur jagung, pemerintah telah mengoreksinya dengan menerbitkan Permen ESDM No 52/2017. Permen ESDM ini menunjukkan keseriusan  pemerintah untuk menggairahkan iklim investasi hulu migas. Melalui permen terbaru ini, pemerintah menambah persentase bagian K3S melalui revisi yang  menyangkut delapan hal penting. Pertama, jika produksi migas kurang dari 30 MMBOE (million barrels of oil equivalent), kontraktor akan mendapatkan bagi hasil 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen. Kedua, kontraktor mendapatkan insentif tambahan 3 persen jika melakukan pengembangan lapangan migas yang kedua dalam blok migas yang sama. Ketiga, jika terjadi penurunan harga migas (Pasal 9), kontraktor mendapatkan tambahan bagian 11,25 persen dari 7,5 persen sebelumnya dengan formula (85-ICP) x 0,25 persen. Keempat, terdapat penambahan komponen progresif harga gas yang belum diatur sebelumnya. Kelima, penambahan besaran split pada tahapan produksi sekunder sebesar 6 persen dari sebelumnya 3 persen. Keenam, perubahan komponen variabel kandungan hidrogen sulfida (H2S).  Ketujuh, penambahan split untuk wilayah kerja yang sama sekali belum tersedia infrastruktur penunjang (new frontier). Kedelapan, diskresi Menteri ESDM yang berwenang memberikan tambahan atau pengurangan split yang didasarkan pada aspek komersial lapangan (Migas Review, 9/9/2017).

Revisi dan penambahan ketentuan di atas diklaim sebagai jalan tengah yang diambil berdasarkan masukan dari berbagai pihak. Sekalipun demikian, cara ini belum tentu akan membuahkan hasil sebagaimana diharapkan oleh pemerintah dalam waktu dekat ini. Jadi, terlalu pagi untuk diukur tingkat keberhasilannya.

Data dari Rencana Strategis (Renstra) Kementerian ESDM 2015-2019 menggambarkan bahwa pada 2013 kebutuhan BBM Indonesia tercatat 1,3 juta barrel per hari (bpd). Alhasil, untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri diperlukan impor BBM sekitar 600.000 bpd dengan nilai lebih dari Rp 1 triliun per hari. Jumlah ini tentu akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Selain itu, Indonesia juga impor minyak mentah untuk input kilang BBM dalam negeri. Produksi minyak mentah Indonesia sekitar 800.000 bpd, tapi ironisnya tidak seluruhnya dapat diolah di kilang BBM dalam negeri.

Sekitar 40 persen produksi minyak mentah Indonesia diekspor karena tidak semua spesifikasi kilang BBM dalam negeri cocok untuk mengolah minyak mentah Indonesia (Renstra Migas 2015/2019).  Penemuan cadangan minyak baru juga kian menjauh dari harapan. Laju penemuan cadangan dibandingkan dengan produksi ataureserve to production ratio (RRR) sekitar 55 persen.  Idealnya, jumlah minyak yang diproduksi  sebanding dengan cadangan yang ditemukan, yakni pada RRR sebesar 100 persen atau lebih. Sekalipun jumlah cadangan migas bisa berubah, bergantung pada penemuan cadangan-cadangan baru, kondisi sekarang cukup jadi pertanda krisis migas kian menjelang.

Krisis migas

Pada April dan Mei lalu, pada saat yang hampir bersamaan diselenggarakan Forum Hukum Migas oleh SKK Migas  dan Diskusi Nasional Kebijakan Energi Nasional oleh Pusat Studi Energi UGM di Yogyakarta,   disusul dengan  Konvensi dan Pameran IPA Ke-41. Ketiga forum ilmiah itu memberikan pesan kuat bahwa saat ini migas semakin sulit didapat serta merekomendasikan agar kita mulai lebih bijak dalam memanfaatkan sumber-sumber energi, khususnya migas, serta mendorong penggunaan energi alternatif baru terbarukan (OBT) dan ramah lingkungan yang bertumpu pada kearifan lokal.

Jika pemerintah gagal menggiatkan pencarian sumur-sumur migas baru, di masa depan capaian fiskal dari hasillifting minyak mentah yang ditargetkan oleh pemerintah akan semakin sulit diraih. Terlebih lagi jika masyarakat juga tidak segera diperkenalkan dan diarahkan untuk memanfaatkan sumber-sumber energi baru yang terbarukan, maka lambat tapi pasti Indonesia akan segera memasuki jurang krisis energi. Indonesia akan semakin bergantung pada impor yang tentu saja akan menggerus kemandirian dan kedaulatan energi yang dicita-citakan.

Mengingat saat ini migas masih menjadi penopang utama (20 persen lebih) biaya pembangunan (APBN), maka krisis migas dipastikan akan membawa dampak berantai dan menjadi pemicu munculnya krisis-krisis lain yang membahayakan negara. Oleh karena itu, sudah sangat mendesak saat ini untuk memperkenalkan  sikap mental waspada krisis kepada masyarakat agar masyarakat dengan kesadaran penuh lebih terencana dalam   menghadapi krisis migas sehingga tidak berkembang menjadi krisis kemanusiaan. 

JUNAIDI ALBAB SETIAWAN

PENGAMAT HUKUM MIGAS; KANDIDAT DOKTOR ILMU HUKUM UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Menjelang Krisis Migas".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger