Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 12 September 2017

Merawat NKRI (JAKOB TOBING)

Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945 menegaskan, "Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk republik." Bentuk negara kesatuan ini bagian dari satu paket dan tak terpisahkan dari dasar negara Pancasila, paham kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika, dan hukum dasar UUD 1945.

Dalam perjalanannya, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengalami tantangan dan pelemahan, sengaja atau tidak. Berbagai gerakan dan pemberontakan mengubah bentuk dan atau melemahkan NKRI antara lain DI/TII, RMS, GAM, dan OPM. Secara terbuka Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengumandangkan perjuangan empat perubahan hakiki, seperti mengganti Pancasila, membubarkan NKRI dan menggantinya dengan kekhalifahan Islam, serta mengganti kedaulatan rakyat atau demokrasi dengan kedaulatan Tuhan. Belakangan, berlanjut seruan menegakkan NKRI-bersyariah yang berarti membubarkan NKRI berdasarkan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

Demikian pula berbagai praktik NKRI yang mengabaikan kebinekaan dan mengabaikan daerah tertinggal serta berbagai peraturan perundang-undangan yang tak taat asas dengan prinsip NKRI sebagaimana diatur UUD 1945 berpotensi dan telah melemahkan NKRI.

Amandemen itu   

Sesuai kesepakatan awal, semua fraksi di MPR mempertahankan bentuk negara kesatuan, tetapi secara terbuka juga mengkritik kelemahan pelaksanaan dan berwacana bagaimana memperbaiki pelaksanaannya.

Dengar pendapat, seminar, dan sejumlah masukan mencatat: terpendam ketidakpuasan atas penerapan bentuk negara kesatuan. Ketimpangan pembangunan dan kesenjangan antardaerah merupakan topik terkemuka. Sekian lama kekuasaan pemerintahan dinilai terlalu sentralisitik, kurang menghiraukan aspirasi daerah. Ada perasaan bahwa ke-tunggal-an lebih ditekankan dan ke-bineka-an diabaikan. Proses juga mencatat bahwa di beberapa daerah- masyarakat, akademisi, dan tenaga ahli-ada keinginan mengubah negara kesatuan ke negara serikat.

Setelah melalui permusyawaratan yang panjang akhirnya disimpulkan, inti soal adalah ketidakadilan dalam pembangunan, kurangnya penghargaan atas keragaman dan keistimewaan, serta hak tradisional masyarakat di satu pihak dan kurangnya kewenangan daerah mengelola pemerintahan di daerah. Diperlukan otonomi yang seluas-luasnya agar daerah memiliki kewenangan cukup mengelola pemerintahan dan pembangunan daerah. Aspek itu menjadi ketentuan konstitusional dalam UUD 1945 untuk dilaksanakan agar negara kesatuan dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia yang majemuk dan bersatu.

Kesepakatan itu dituangkan dalam UUD 1945, misalnya dalam Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Pasal 18 Ayat 2 mengatur bahwa pemerintahan daerah mengatur sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi, dan Ayat 5 menyatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.  Ayat 6 menyatakan, pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Berdasarkan ketentuan itu, Indonesia negara kesatuan yang menganut prinsip pendelegasian kewenangan dalam otonomi seluas-luasnya kepada daerah, bukan negara kesatuan yang sentralistis.  Di pihak lain, Pasal 37 Ayat 5 menegaskan, bentuk negara kesatuan tak dapat diubah.

Pasal 37 Ayat 2 menegaskan, usul perubahan terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dulu apa yang akan diubah, bagaimana perubahannya, dan apa alasannya. Dalam keadaan seperti itu, upaya perubahan Pasal 37 dengan tujuan perubahan atas bentuk negara kesatuan dan/atau Pembukaan merupakan pergolakan politik serius.

Dalam NKRI, sesuai Pasal 1 Ayat 2, kedaulatan itu tunggal, berada di tangan rakyat seluruh Indonesia, dan dilaksanakan menurut UUD.. Pasal 4 Ayat 1 menegaskan, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Dalam hierarki hukum nasional, sesuai dengan UU No 10/2004, hukum tertinggi adalah UUD 1945, diikuti UU/perppu (seharusnya termasuk TAP MPR yang masih berlaku), peraturan presiden, perda tingkat I, dan perda tingkat II.

UUD 1945 dapat ditinjau dan diubah hanya oleh MPR sesuai dan menurut aturan Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945. UU, perppu, dan TAP MPR yang masih berlaku, sesuai Pasal 20, dapat dibatalkan atau diubah DPR bersama presiden dan sesuai dengan Pasal 24C dapat diuji dan dibatalkan (sebagian atau seluruhnya) oleh Mahkamah Konstitusi.

Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama kepala daerah (KDH: gubernur/bupati/wali kota) dengan DPRD I/II. Konsisten dengan prinsip dasar negara kesa- tuan dan sesuai dengan Pasal 18, daerah adalah bagian NKRI dan KDH dan DPRD adalah perangkat pemerintah daerah yang merupakan unit penyelenggara pemerintah NKRI (pusat) di daerah yang diatur UU. Kewenangan otonomi bisa diperluas/dikurangi melalui UU.

Dalam konstruksi negara kesatuan demikian itu, apabila dinilai tak sesuai dengan UUD 1945 atau UU yang berlaku, presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dapat meninjau/membatalkan perda, demikian pula KDH bersama DPRD.

Sesuai Pasal 24A Ayat 1, UUD memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung, apabila diminta yang berhak, menguji perda terhadap UU dan membatalkannya. Frase Pasal 24A Ayat 1 itu tak dapat diartikan MA satu- satunya lembaga yang berwenang menguji perda terhadap UU dan membatalkannya. Menghilangkan kewenangan presiden melakukan peninjauan atau membatalkan peraturan perundangan yang dibentuk perangkat bawahannya memperlemah penegakan NKRI. Di pihak lain, MA berperan mencegah kesewenang-wenangan pemerintah pusat.

Pilkada

Pasal 18 Ayat 4 tak menetap- kan cara tertentu, tetapi mengamanatkan bahwa KDH dipilih secara demokratis. Ketentuan ini memberi ruang bagi kebijaksanaan terbuka yang oleh UUD di- perintahkan diatur dalam UU.  Mengingat kondisi dan kekhasan serta keberagaman daerah, terbuka kemungkinan pilkada dilakukan tidak seragam.

Konsisten dengan Pasal 6A dan Pasal 22E, apabila pilkada juga disepakati melalui pemilu, seharusnya calon KDH juga dicalonkan partai/gabungan partai politik peserta pemilu. Dalam hubungan itu perlu ditelaah dampak aturan UU No 15/2015, khususnya membolehkan calon perseorangan, terhadap keutuhan negara kesatuan.

Dengan segala kejengkelan masyarakat terhadap kelemahan dan tingkah beberapa pejabat parpol, mengizinkan calon perseorangan memberi mudarat lebih besar ketimbang manfaat bagi keutuhan negara kesatuan dan pemajuan demokrasi.

Calon perseorangan mungkin bisa memunculkan calon yang mumpuni di tengah-tengah kebuntuan parpol. Namun, calon perseorangan yang tak punya basis partai politik cenderung akan menggunakan sentimen primordial dan sektarian dalam upaya memenangi suara.

JAKOB TOBING

KETUA KOMISI A ST-MPR-RI, 2000, 2001, 2002, 2003: AMANDEMEN UUD 1945

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Merawat NKRI".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger