Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 15 September 2017

Pemerintah yang Efektif (DAOED JOESOEF)

Istilah "pemerintah" adalah terjemahan dari "government". Keduanya sama-sama berarti "sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara oleh orang- sendirian atau berkelompok (kluster)-yang memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan".

Walaupun sama, kedua istilah tersebut mengandung konotasi yang berbeda. Istilah "pemerintah" menarasikan "perintah penguasa" yang rata-rata dialami oleh anak jajahan. Ketika anak ini memegang jabatan publik, berkat kemerdekaan, ada kecenderungan meneruskan praktik penguasa, yaitu memberi perintah. Bukan sebaliknya: menyederhanakan, membuat simpel. Urusan publik malah dipersulit. Penyelesaian KTP, misalnya, yang bisa setengah jam ditunda-tunda sampai mingguan, bahkan bulanan. Dia pamerkan kekuasaannya dan memerintah dari meja tulisnya. Dia menjadi birokrat menurut imajinasi kolonial.

Adapun istilah "government" berindikasi "mengelola kesejahteraan umum". Indikasi ini mengingatkan orang yang sedang berkuasa agar mengayomi rakyat. Dia sekaligus merupakan abdi rakyat dan abdi negara. Jabatan publik bukan profesi, melainkan vokasi.

Namun, lebih dahulu, ada pertanyaan sangat krusial yang perlu dijawab. Siapa yang sebenarnya memerintah?

Ya, presiden republik, para menteri dan pemerintah, di bawah pengawasan parlemen. Demikianlah pretensi konstitusi. "Para monopolis dan konglomerat," kata rakyat jelata dan marhaenis. "Kaum teknokrat," menurutprogress report. "Lapisan borjuasi yang mendesakkan tatanannya melalui profesi dan birokrasinya," kata serikat pekerja. "Kelompok nasionalis," bisik golongan agamawi yang berpakaian serba hijau dan putih. "Militer dan polisi," ujar kaum buruh berkaus merah ketika berdemo pada tanggal 1 Mei.

Setiap opini tersebut sarat dengan argumen yang tak semuanya omong kosong dan tidak tanpa bobot pikiran. Menurut keyakinan atau kesimpulannya-para sosiolog dalam analisisnya tentang kelas dominan, para pakar politik dalam studi mengenai pengambilan keputusan, para ekonom dalam deskripsi tentang pasar dan mekanisme dan lebih singkat lagi tetapi mungkin lebih konkret, para wartawan dalam komentarnya mengenai kehidupan umum-ada yang membenarkan penjelasan-penjelasan tadi, di samping yang meragukan ketepatannya. Berarti tidak ada satu pun tesis yang betul-betul memuaskan dan meyakinkan.

Bila demikian dapat kiranya disimpulkan dua indikasi. Adalah tidak mungkin, pertama, menetapkan dengan persis lokus dari penguasa dewasa ini di negeri kita, yang banyak sedikitnya berlaku juga di negeri-negeri lain. Lalu, kedua, tesis resmi dan meyakinkan yang menyatakan kepala negara dan perdana menteri (sistem parlementer) memimpin negara dengan bantuan menteri-menterinya dan parlemen efektif mengawasi kebijakan pemerintah, pantas diragukan, bahkan perlu dipertanyakan.

Kematian pemerintahan

Pemerintah diperlukan untuk menjaminpeace and order dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan gouverner, c'est prevoir-togovern is to foresee, kata Montesquieu, pencetus ide Trias Politika. Berarti pemerintah harus mampu mengatakan kepada rakyatnya apa-apa yang belum mereka sadari dan lalu membuat pilihan-pilihan. Namun, di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dewasa ini apakah pemerintah bisa memprakirakan apakah mampu "memilih" kebijakan dengan bebas?

Dalam praktik penyelenggaraan negara selama ini kelihatannya kok tidak ada kebebasan yang diniscayakan itu. Terpojok di bidang geometris dari kontrasi nasional, oleh tekanan berlawanan arah dari risiko dan keterpaksaan-belum dikata gangguan dari luar-pemerintah tidak lagi berdaya untuk memilih, apalagi memprakirakan. Ia tidak lagi berprakarsa. Ia terpaksa puas dengan menanggung apa adanya, tidak lagi berkapasitas memilih yang serba esensial.. Ia terpaksa mengalami, dan kalaupun masih punya kekuasaan, sekadar bereaksi.

Maka, sebagai jawaban terhadap "siapa yang memerintah", kita cenderung menjawab: tidak ada, nobody, suatu fatalitas.

Jawaban sinis ini bukan merupakan kritik terhadap negarawan yang sedang berkuasa di Indonesia sebab pihak oposisi yang kelak berpeluang menguasai lokus pemerintah tidak akan bisa mengelak dari jebakan fatal itu bila bisa berkuasa. Untuk sekadar hiburan, nyaris di semua negeri di permukaan bumi dewasa ini sedang menghadapi masalah serupa. Baik negeri maupun negarawan dan politikus di sana tidak lagi punya kapasitas prakiraan. Mereka hanya bisa memilih yang justru tidak diperlukan dan bukan tentang yang esensial. Pemerintah terpaksa tidak lagi memprakirakan, juga tidak lagi punya opsi seperti yang dinarasikan oleh Montesquieu. Lalu, buat apa punya pemerintah?

Namun, jangan cepat menyerah. Kita masih punya solusi efektif kalau saja para pemangku kepentingan, terutama politikus dan parpol, memang berniat baik dalam term kepentingan rakyat dan negara-bangsa.

UUD 1945 mengamanatkan agar NKRI menerapkan sistem presidensial, yaitu pemerintahan republik yang kepala negaranya langsung memimpin kabinet. Selama 72 tahun merdeka, kelompok warga yang merasa terpanggil memimpin jalannya bahtera negara telah berselingkuh, terutama di zaman reformasi. Marilah kita sekarang menerapkan secara konsekuen dan- tentunya-dengan betul sistem pemerintahan yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa. Lebih-lebih sekarang setelah presiden dan wakilnya adalah hasil pilihan langsung rakyat, yang katanya pemilik sejati republik. Bukankahvox populi vox dei?

Dalam sistem presidensial, presiden adalah sekaligus kepala negara dan kepala pemerintahan. Berarti dia berwenang melaksanakan apa-apa yang dalam sistem parlementer merupakan tugas presiden, yaitu menyiapkan the broad options dan membuat keputusan-keputusan signifikan, serta segala sesuatu yang dalam sistem parlementer merupakan tugas perdana menteri, yaitu mengelola kebaikan dan kebajikan bersama. Maka, berikanlah kebebasan kepada presiden dan wakilnya yang terpilih untuk memilih para pembantunya dari lingkungan parpol atau luar parpol yang kompeten, serta kesempatan memegang jabatannya selama masa lima tahun dan kemungkinan dipilih kembali tetapi tidak tanpa batas. Sekarang sudah dibatasi berkat revisi di zaman reformasi.

Sistem presidensial ini tidak mengerdilkan tugas dan bobot pengawasan wakil rakyat terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah. Parlemen tetap punya hak dan tugas di bidang perundang-undangan serta perencanaan anggaran pengeluaran dan belanja negara (RAPBN). Yang perlu diingat oleh wakil rakyat adalah "mengawasi" bukan "menghalang-halangi" apalagi "menjegal" seperti yang selama ini terjadi dengan aneka alasan artifisial.

Begitu terbentuk pemerintah (kabinet) baru, para anggota DPR yang berasal dari beberapa parpol yang anggotanya tidak terpilih menjadi menteri segera membentuk koalisi yang tujuan utamanya adalah bekerja sama mempersulit keberhasilan kinerja pemerintah. Ini berarti mencegah rakyat menikmati kebaikan dan kebajikan dari kebijakan pemerintah.

Kematian politik

Maka, dengan dalih melindungi rakyat dari the abuse of right, mereka bersikap apriori, berprasangka terhadap pemerintah. Sikap presiden terpilih yang mengambil keputusan yang relevan dan krusial, misalnya, tidak bisa disamakan dengan sikap kediktatoran, seperti yang dilontarkan dengan sinis oleh seorang tokoh parpol yang pernah berkuasa. Presiden harus bebas mengambil keputusan sebab dia didudukkan di lokus kekuasaan untuk berani berbuat begitu. Tidak mengambil keputusan yang diniscayakan adalah keputusan dan itu satu keputusan yang terburuk. Bukankah hal ini yang dahulu sering dilakukan oleh tokoh parpol yang melontarkan citra kediktatoran tadi ketika dia sebelumnya berpeluang menjadi presiden. Dia dan dialah yang mengelak tugas kepresidenan yang diniscayakan.

Rakyat kita pada umumnya sudah dewasa dan semakin kritis dalam perpolitikan. Kalau Presiden terpilih, yang notabene mereka pilih langsung, ternyata tidak membawa kebaikan dan kebajikan umum, tidak memenuhi janji-janji yang diucapkan selama kampanye, mereka pasti tidak akan memilih dia kembali. Dan, jangan lupa bahwa mereka, rakyat, si Marhaen, juga jeli mengawasi sepak terjang dari orang-orang partai, termasuk yang bertugas di DPR, yang sering membolos. Mereka semakin jelas tak lagi digerakkan oleh "ideologi", tetapi oleh "opini" yang bisa berubah dari hari ke hari. Jabatan politis "mewakili rakyat" semakin jelas kelihatan jadi sumber utama nafkah hidup.

Kadang-kadang kita tercengang menyaksikan bagaimana tokoh-tokoh parpol yang begitu fundamental berbeda ideologi bisa bekerja sama, berkoalisi, hanya untuk menjegal pemerintah. Keintelektualan mereka tidak mampu lagi mengendalikan aspirasi destruktif masing-masing. Kalau kebiasaan ini diteruskan bisa berakibat fatal. Bukankah penyingkiran ideologi berarti pula kematian politik?

Pemerintah presidensial memang bukan merupakan suatu panasea politik, melainkan bisa cukup reasonable. Ia efektif secara teknis dan dibenarkan secara konstitusional. Politiknya tetap bercorak demokratis. Ia berpotensi untukto foresee dan terkait erat dengan ini to make choices. Pendek kata, pemerintahan presidensial bisa bermanuver menjalankan bahtera negara di saat berlayar antara Scylla dan Charybdis.

DAOED JOESOEF

ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Pemerintah yang Efektif".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger