Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 13 September 2017

Penguatan Pendidikan Karakter dan Problem Otonomi Sekolah (EDI SUBKHAN)

Pemerintah resmi mengeluarkan Perpres No 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Perpres ini dibuat karena banyak kalangan menolak pemberlakuan Permendikbud No 23/2017 yang dianggap berpotensi memberangus keberadaan madrasah diniyah di banyak tempat.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada akhirnya melunak dan ikut mendukung Perpres No 87/2017 karena di dalamnya tak ada kewajiban bahwa sekolah harus masuk lima hari. Namun, jika diteliti lebih jauh, perpres ini-berkaitan hari masuk sekolah-tak jauh berbeda dengan Permendikbud No 23/ 2017. Substansinya sama, yakni sekolah dapat dilaksanakan lima hari. Artinya, boleh enam hari, tetapi boleh juga lima hari.

Kemandirian

Secara kasatmata ketentuan itu terlihat adil dan demokratis. Namun, dalam praktiknya tak semulus yang diharapkan. Hal ini karena pihak yang menentukan apakah satu sekolah akan memilih lima atau enam hari masuk sekolah adalah sekolah itu sendiri bersama komite sekolah/madrasah dan dilaporkan kepada pemerintah daerah atau kantor kementerian yang terkait (Pasal 9 Ayat 2). Problemnya dimulai ketika sekolah, termasuk komite sekolah, sebagian besar tak punya inisiatif untuk mengambil keputusan secara mandiri dan demokratis dan rentan ditekan untuk kepentingan tertentu.

Sama halnya dengan implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan di mana banyak sekolah tak mampu mengembangkan kurikulum sendiri, pada akhirnya sekolah dan komite sekolah sekadar menunggu keputusan dan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis saja. Dalam banyak hal, putusan untuk mengembangkan sebuah sekolah sebagai sekolah Adiwiyata, misalnya, juga tak murni inisiatif dari bawah, tetapi ditunjuk dinas pendidikan. Beberapa contoh kasus itu menunjukkan bahwa otonomi pendidikan yang dirintis sejak reformasi tahun 1998 melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) masih jalan di tempat.

Penelitian Badan untuk Pembangunan Internasional AS (USAID, 2010: 130) mengenai MBS tahun 2005-2010 menunjukkan tren positif, misalnya berkaitan dengan rencana kerja sekolah (RKS). Hanya saja sebagian besar belum dapat diimplementasikan dengan baik dan konsisten. Beberapa sekolah sampel penelitian juga tak punya RKS dan tidak menunjukkan kondisi riil dan aspirasi dari sekolah.

Lebih dari itu, hal yang belum banyak digali dari praktik MBS di sekolah-sekolah adalah dimensi politik, psikologis, dan sosio-kulturalnya. Dalam hal ini, Orde Baru tampaknya berhasil mewariskan satu mentalitas kepada sebagian besar guru di sekolah agar mereka patuh saja pada pemerintah, jangan menyelisihi pendapat atasan. Intinya: setia, loyal, dan ikuti saja apa kata atasan.

Mentalitas ini boleh dikata sebentuk feodalisme yang erat dengan praktik kolusi dan nepotisme. Rumusnya: agar kenaikan pangkat jelas atau agar aman posisi sebagai kepala sekolah, dekat-dekatlah dengan penguasa/ atasan. Kalau perlu, jadi tim sukses program-programnya.. Posisi guru/sekolah sebagai unit terkecil dan paling bawah dari birokrasi pendidikan nasional agaknya makin menumbuhsuburkan mentalitas tersebut.

 Berkaitan dengan Perpres No 87/2017, potensi masalah terdapat pada pilihan sebagian besar sekolah yang tetap cenderung akan memilih lima hari masuk sekolah ketimbang enam hari. Hal tersebut karena pada Pasal 9 Ayat 2 semua yang berkaitan dengan program penguatan pendidikan karakter dan dilegitimasi oleh perpres ini harus dilaporkan kepada dinas pendidikan, pemda, dan pihak terkait. Kewajiban ini menimbulkan tekanan psikologis bagi guru dan sekolah agar mengikuti apa maunya atasan.

Rasa takut guru dan sekolah berkaitan dengan nasib jenjang kariernya ke depan, ditambah rasa sungkan kepada sesama guru dan sekolah lain, serta sedikit banyak mentalitas ABS (asal bapak senang) dalam mengejar karier dan jabatan yang lebih tinggi akan menjadikan kebijakan ini berpotensi bermasalah di lapangan. Terlebih pada Pasal 8 Ayat 3 dinyatakan: lembaga keagamaan yang diajak kerja sama dengan pihak sekolah dalam pelaksanaan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler harus mendapat rekomendasi dinas pendidikan dan pihak terkait. Sangat mungkin akan banyak madrasah diniyah yang tak mendapat rekomendasi karena tak memenuhi syarat.

Terlalu ingin mengontrol

Sulit membayangkan di level akar rumput muncul inisiasi kerja sama antara sekolah dan madin. Karena, selama ini hal-hal yang bersifat kolaboratif dalam aktivitas pembelajaran antara sekolah dan jenis pendidikan lain hampir tidak ada. Praksis pendidikan di masyarakat bukanlah ruang yang netral dari kepentingan politik partisan. Banyak tarikan kepentingan tokoh ataupun pihak tertentu, termasuk rezim yang berkuasa di daerah. Soal rekomendasi kerja sama ini dengan demikian berpotensi kembali menimbulkan gesekan di bawah.

 Perpres No 87/2017 adalah obsesi negara yang terlampau banyak ingin mengontrol praktik pendidikan warganya. Sebenarnya peningkatan kualitas pendidikan kita, termasuk dalam rangka menguatkan karakter siswa, cukup dengan memperkuat sekolah saja. Adanya MBS sudah merupakan awal yang baik, tetapi perlu ditunjang dengan memberikan fasilitas, pendampingan, dan kepercayaan kepada sekolah untuk menentukan program- programnya sendiri. Termasuk menentukan hari masuk sekolah, jam belajar, kerja sama dengan masyarakat dan lainnya.

Dalam hal ini, kita bisa belajar dari banyak sekolah swasta yang berkualitas dan sejak lama sudah menjalankan lima hari masuk sekolah. Itu terjadi karena MBS berjalan dengan tidak banyak beban harus mengikuti sekian banyak aturan pemerintah.

 Sahlberg (2014) pernah menyatakan bahwa kunci keberhasilan pendidikan Finlandia adalah penguatan lembaga sekolah dengan memberikan kepercayaan kepada mereka untuk mengatur diri sendiri. Namun, otonomi pendidikan ini jangan dipahami sebagai pemerintah lepas tangan. Posisi pemerintah idealnya adalah sebagai fasilitator dan pengarah visi pendidikan nasional saja. Hanya dengan penguatan sekolah dan memberi kepercayaan kepada guru dan sekolah, inisiatif-inisiatif positif di sekolah yang demokratis, partisipatoris, kolaboratif, dan emansipatoris dapat muncul.

 Sayangnya, sejauh yang bisa kita lihat, pemerintah tampaknya belum percaya betul kepada guru dan sekolah. Hal itu bisa kita lihat, misalnya, dari sikap pemerintah yang tetap kukuh menginginkan ujian nasional (UN) tetap ada. Salah satu alasannya: kalau semuanya di serahkan kepada sekolah, lulusnya siswa bisa karena manipulasi nilai. Sisi negatif kecenderungan ini adalah: sulit muncul inisiatif kreatif dari sekolah karena sudah terbiasa dengan paksaan dan tuntutan kerja dari atas.

EDI SUBKHAN

PENGAJAR JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN, FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN, UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Penguatan Pendidikan Karakter dan Problem Otonomi Sekolah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger