Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 18 September 2017

TAJUK RENCANA: Berharap MK yang Tanggap (Kompas)

Kesempatan sebenarnya ada pada Mahkamah Konstitusi untuk menyudahi ketegangan antara KPK dan Panitia Angket KPK. Namun, hal itu tak digunakan.

Ketegangan antara KPK dan Panitia Angket KPK sudah berlangsung hampir dua bulan. Energi bangsa terkuras. Ketegangan itu melebar dan kian melibatkan banyak pihak. Presiden Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara memilih untuk tidak melakukan intervensi apa pun. Akibat ketegangan itu dibiarkan, delegitimasi terhadap KPK dan anggota Pansus KPK terus terjadi. Banyak pernyataan anggota DPR yang off-side dan berdampak pada delegitimasi parpol.

KPK menolak hadir dipanggil Panitia Angket sampai ada putusan MK. Selama ini, Panitia Angket tak ditujukan untuk sebuah komisi independen seperti KPK. Panitia Angket merupakan hak DPR melakukan penyelidikan kepada pemerintah. Karena perbedaan tafsir itulah, Wadah Pegawai KPK melakukan uji materi soal kewenangan DPR melakukan angket terhadap KPK. Sidang sudah digelar dan banyak pihak meminta MK bisa mengeluarkan putusan sela. Namun, kesempatan yang diharapkan bisa menyudahi ketegangan itu tak bisa dicapai MK.

Berdasarkan hasil rapat musyawarah hakim, 6 September, MK tidak mengeluarkan putusan sela dengan komposisi hakim empat setuju, empat tidak setuju. Hakim konstitusi Saldi Isra tidak ikut karena sedang menunaikan ibadah haji. Empat hakim yang setuju MK mengeluarkan putusan sela adalah I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Suhartoyo, dan Manahan Sitompul. Adapun yang menolak adalah Ketua MK Arief Hidayat, Wakil Ketua MK Anwar Usman, Aswanto, dan Wahiduddin Adams. Karena hasil imbang, suara terakhir ketua majelis hakim Arief Hidayat jadi penentu. Putusan sela tak bisa dikeluarkan.

 
KOMPASNEWSPAPERKesempatan sebenarnya ada pada MK untuk menyudahi ketegangan antara KPK dan Panitia Angket KPK. Namun, kesempatan itu tak digunakan.

Keputusan MK itu harus diterima semua pihak. Panitia Angket harus melaporkan hasil penyelidikannya pada 28 September 2017 meski ada suara-suara untuk memperpanjang masa kerja Panitia Angket. Kita berharap putusan akhir MK punya manfaat bagi perbedaan tafsir itu antara DPR dan KPK.

Jika putusan final MK itu terbit setelah 28 September 2017, MK kembali tidak membantu menyelesaikan perdebatan konstitusional tentang kewenangan Panitia Angket DPR soal KPK. Putusan MK seperti itu mirip dengan gugatan uji materi cuti kampanye bagi petahana yang diajukan gubernur yang diputuskan setelah pilkada selesai. Putusan MK seperti itu tak menjawab keluhan soal keadilan konstitusional.

Kita berharap kehadiran MK yang progresif, tetapi tetap berdasarkan konstitusi. Itu pernah dilakukan MK pada 7 Juli 2009. Sehari sebelum pemilu 8 Juli 2009, MK menerbitkan putusan bahwa KTP bisa digunakan untuk mencoblos. Putusan MK itu menyudahi problematik yang melingkupi pemilu saat banyak orang tak terdaftar dalam daftar pemilih tetap.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Berharap MK yang Tanggap".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger