Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 08 September 2017

TAJUK RENCANA: Ironi Negeri Demokrasi India (Kompas)

Membaca berita tentang ditembaknya wartawan kritis di India, Gauri Lankesh, segera ingat akan tragedi yang menimpa Fuad Muhammad Syafruddin.

Fuad Muhammad Syafruddin atau lebih dikenal sebagai Udin adalah wartawan harian Bernas, sebuah media cetak yang terbit di Yogyakarta. Udin meninggal pada 16 Agustus 1996 karena dianiaya oleh orang tidak dikenal di Bantul, Yogyakarta. Diyakini bahwa Udin dibunuh karena tulisan- tulisannya yang sangat kritis pada waktu itu, menyinggung penguasa dan militer. Hingga kini, kasus tewasnya Udin masih gelap gulita.

Nasib Gauri Lankesh (55), editor dan pemimpin koran independen Gauri Lankesh Patrike, tidak jauh berbeda dengan Udin. Perempuan wartawan ini tewas ditembak tiga pria tidak dikenal di Bangalore. Peluru menembus kepala dan dadanya. Tewasnya Lankesh memancing reaksi sangat keras dari berbagai kalangan, termasuk reaksi menggugat kebebasan pers di India sebagai negara demokrasi paling besar di dunia.

Selama ini, Lankesh dikenal sebagai orang yang sering mengkritisi partai nasionalis yang berkuasa di India dan pemerintahan sayap kanan PM Narendra Modi. Ia juga dikenal sangat kritis terhadap kaum ekstremis Hindu. Bahkan, Lankesh secara terang-terangan menentang sistem kasta. Karena itu, ia disebut sebagai "Hindu hater", pembenci Hindu.

Apa pun alasannya, pembunuhan terhadap wartawan ini, memang, menjadi ironi bagi India, yang selama ini menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi. Apalagi, pers selalu disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Akan tetapi, apabila pilar itu dilucuti kekuatannya, tidak bisa bersuara secara bebas dengan tanggung jawab, tidak bisa bersikap kritis terhadap pemerintah, tidak bisa meluruskan kembali yang bengkok, dan menjaga yang lurus tetap lurus, tidak dapat bersuara keras menentang ketidakadilan, lalu apa artinya pilar keempat itu.

Padahal, kebebasan berekspresi merupakan hak manusia universal. Kebebasan ini bukan hak prerogatif para politisi, dan juga bukan merupakan hak istimewa para wartawan. Dalam kerjanya sehari-hari, para wartawan memberikan ruang yang sangat luas kepada warga negara untuk menggunakan hak kebebasan bersuaranya.

Namun, kalau kebebasan itu tidak ada lagi atau sekurang-kurangnya diberangus, ia akan menjadi pilar yang keropos; yang tak mampu menopang bangunan demokrasi. Memang, menurut Komite Perlindungan Wartawan, India termasuk yang tidak ramah terhadap pers, kebebasan pers. Sejak tahun 1992, terhitung paling kurang 27 wartawan dibunuh. Posisi India dalam hal indeks kebebasan pers, menurut Indeks Kebebasan Pers Dunia, tahun ini turun tiga poin, yakni pada peringkat ke-136 dari 180 negara.

Inilah ironi negeri demokrasi terbesar di dunia.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Ironi Negeri Demokrasi India".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger