Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 12 September 2017

TAJUK RENCANA: Menanggulangi Pencemaran Laut (Kompas)

Mungkin ada yang berpendapat, laporan seperti yang diturunkan harian ini, Senin (11/9), tentang pencemaran laut, terasa mengada-ada.

Namun, membaca laporan dimaksud meyakinkan kita bahwa soal itu konkret ada, bahkan meminta solusi segera. Lingkupnya serius dan dampaknya mencekam. Pencemaran utama yang disebut dalam laporan adalah logam berat dan plastik.

Sekadar mengulang sedikit, untuk logam berat, yang dimaksud terutama adalah merkuri, khususnya yang berasal dari tambang emas skala kecil. Polutan ini setelah masuk ke laut dikonsumsi mikrobiota laut. Selanjutnya, makhluk-makhluk kecil ini dikonsumsi oleh kerang, udang, dan hewan laut kecil sebelum akhirnya dimakan ikan mengikuti rantai makanan.

Yayasan Mediscus menyebutkan, merkuri yang mencemari laut terakumulasi hingga 10.000 kali pada ikan predator yang lebih besar. Jika kita—yang dianjurkan untuk mengonsumsi hidangan laut—menyantap ikan yang mengandung merkuri, zat berbahaya ini akan terakumulasi di tubuh. Pengaruh buruknya bisa muncul lima sampai 10 tahun kemudian, bisa berupa gangguan emosi hingga sistem saraf dan dampak lainnya.

Selain merkuri, laut Indonesia juga banyak tercemari plastik, mulai dari ukuran besar, kecil, hingga sangat kecil. Indonesia menjadi negara kedua setelah China sebagai pembuang sampah plastik terbesar di laut. Sebagaimana merkuri, sampah plastik di laut pun masuk ke rantai makanan. Ini terlihat adanya plastik dalam ikan dan kerang yang dijual di tempat pelelangan ikan terbesar di Makassar. Temuan ini sudah terpapar di komunitas internasional karena telah dimuat di jurnal ilmiah Inggris, Nature.

Plastik, selain melepas senyawa beracun, juga mudah mengikat bahan pencemar beracun, seperti pestisida dan aneka jenis logam berat. Bahan pencemar tersebut dikenal sebagai penyebab kanker (karsinogenik), mutasi genetik, dan rusaknya embrio.

Dampak terkontaminasinya produk laut kita sangat merugikan, ekspor dari laut kita banyak ditolak negara-negara Uni Eropa dan AS karena ada cemaran logam berat, mikroba patogen, residu histamin, dan obat hewan.

Kita sepandangan dengan para ahli bahwa selain rugi secara komersial, kita juga rugi karena ada biaya kesehatan yang harus dibayar oleh masyarakat, yang ironisnya justru sedang didorong untuk mengonsumsi ikan dan hasil laut lainnya.

Hal lain yang tidak kalah mencemaskan adalah polutan laut dari logam berat dan plastik juga merusak lingkungan. Karena itu, masuk akal jika kita menggarisbawahi laporan harian ini agar semua pihak tidak abai terhadap masalah mendesak ini. Pemerintah tidak bisa sendirian, masyarakat dan industri juga punya tanggung jawab besar.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Menanggulangi Pencemaran Laut".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger