Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 14 September 2017

TAJUK RENCANA: Menepis Tekanan Ekonomi (PAUL SUTARYONO)

Kini pembangunan fokus pada infrastruktur sebagai motor pemerataan ekonomi. Sayangnya, anggaran amat terbatas sehingga pemerintah memangkas anggaran dan menambah utang. Menurut literatur, kebijakan fiskal itu dapat menimbulkan efek crowding out (CO) berupa kenaikan suku bunga bank dan penurunan investasi.

CO merupakan situasi ketika konsumsi (pribadi) barang, jasa, dan investasi melemah karena kenaikan pengeluaran pemerintah, defisit yang menyedot sumber daya keuangan, dan mengerek suku bunga. CO dapat disebabkan kebijakan fiskal ekspansif yang dibiayai kenaikan pajak, utang, atau keduanya. Saya sederhanakan CO menjadi tekanan ekonomi.

Apakah suku bunga naik? Statistik Perbankan Indonesia menunjukkan suku bunga rata-rata kredit modal kerja (rupiah) turun dari 11,84 persen per Juni 2016 menjadi 11,14 persen per Juni 2017. Kredit investasi turun dari 11,49 persen menjadi 10,98 persen dan kredit konsumsi turun dari 13,83 persen menjadi 13,21 persen. Data itu dapat menjawab pertanyaan adakah kenaikan suku bunga bank sebagai efek tekanan ekonomi.

Muhamad Chatib Basri pun mencemaskan kebijakan fiskal yang bisa mendorong investasi swasta mandek atau melambat seperti berikut. Kita melihat gejala pembiayaan defisit anggaran melalui utang (obligasi) domestik ternyata telah memindahkan tabungan di perbankan ke obligasi pemerintah. Implikasinya, sumber untuk ekspansi kredit di perbankan menjadi terbatas sehingga investasi swasta yang bisa dibiayai perbankan pun terbatas. Karena itu, investasi swasta mandek atau melambat. Inilah yang disebut efek CO (Kompas, 1/8/2017).

Kecemasan itu dapat dimengerti. Ketika kenaikan suku bunga bank itu terjadi, maka sektor swasta akan makin terbebani. Mengapa? Karena sektor swasta akan menanggung biaya modal makin tinggi untuk memperoleh kredit bank. Apa akibat yang paling serius ketika korporasi dan atau manufaktur mengurangi produksinya? Potensi risiko bisnis akan kian mengental mulai dari pengurangan produksi yang mengakibatkan pengurangan waktu kerja dari tiga menjadi dua hingga pemutusan hubungan kerja.

Apakah ancaman PHK itu mimpi di siang bolong? Tidak. Growth Steel Group berniat menjual anak usahanya, PT Indoferro. Penyebabnya, perusahaan ini tak lagi beroperasi sejak 20 Juli 2017. Operasional perusahaan itu terhenti akibat terbitnya relaksasi ekspor. Saat ini Indoferro sedang melakukan PHK terhadap 1.000 karyawan (Kontan, 28/7/2017). Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar, pada akhir 2016 hingga Juni 2017 terdapat sekitar 30.000 buruh garmen yang terkena PHK (Kompas, 2/8/2017).

Perlu energi positif

Langkah strategis apa saja untuk menepis efek tekanan ekonomi itu?

Pertama, memberikan bantuan tunai. AS pernah meluncurkan bantuan tunai, demikian pula Brasil mulai 1995, Meksiko (1997), dan lebih dari 30 negara lainnya yang berjalan baik.

Program itu manjur mendongkrak daya beli masyarakat bawah karena mereka dapat langsung membeli barang kebutuhan pokok. Ini akan mengerek konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,95 persen per kuartal II-2017 menebal dari 4,94 persen per kuartal I-2017.

Konsumsi rumah tangga itu telah memberikan kontribusi tertinggi pada produk domestik bruto (PDB) 55,6 persen. Namun, sudah sepatutnya investasilah yang harus digenjot lebih tinggi lagi. Meski tumbuh 5,35 persen di atas konsumsi rumah tangga, kontribusi investasi terhadap PDB lebih rendah 31,3 persen. Ternyata status layak investasi oleh S&P belum berbuah banyak. Maka, rencana pembentukan satgas investasi di kementerian/lembaga perlu didukung sebagai pupuk.

Kedua, melakukan pelonggaran moneter. Penurunan suku bunga acuan BI 7 Day RR 25 basis poin (bps) dari 4,75 persen menjadi 4,5 persen pada 22 Agustus 2017 memberi stimulus untuk pertumbuhan kredit. BI 7 Day RR perlu turun lebih cepat menjadi 4 persen untuk memacu pertumbuhan ekonomi tahun ini yang tinggal empat bulan lagi, sejauh suku bunga acuan AS, The Fed Fund Rate, tak naik lagi pada semester II-2017.

Sayangnya, suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tetap 6,25 persen. Ini seolah-olah memberikan sinyal kepada pasar, suku bunga deposito tak bakal turun. Padahal, semestinya LPS mendorongnya agar lebih rendah yang kemudian menipiskan suku bunga kredit. Akan lebih jitu jika Bank Indonesia bisa menjamin transmisi kebijakan moneter itu berjalan mulus. Alhasil, penurunan BI 7 Day RR itu mampu mendorong penurunan suku bunga deposito yang lalu menyetrum penurunan suku bunga kredit.

Ingat pula potensi risiko berupa aliran dana panas keluar dari pasar modal. Ini bisa terjadi jika suku bunga acuan terlalu rendah sehingga investor asing melirik pasar lain yang menjanjikan margin lebih gurih. Untuk itu, jangan sampai BI 7 Day RR di bawah 4 persen. Bandingkan dengan suku bunga acuan negara ASEAN (Singapura 0,99 persen, Thailand 1,5 persen, Malaysia 3 persen, Filipina 3 persen, dan Vietnam 6,25 persen).

Hingga 21 Juli 2017, dana asing keluar mencapai Rp 9,3 triliun. Sebaliknya, menurut BI, dana asing masuk Rp 131 triliun per Juli 2017 meski turun dari Rp 134 triliun per Juli 2016. Hal itu menunjukkan kepercayaan pasar masih tinggi.

Ketiga, menggeber pembangunan berbasis padat karya, bukan hanya padat modal. Contoh, perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Karena itu, perlu insentif berupa suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang lebih kompetitif. Dalam pameran perumahan 11-20 Agustus 2017 di Jakarta, BTN menawarkan suku bunga tetap KPR subsidi 5 persen (hingga tenor 25 tahun) dengan uang muka 1 persen dan suku bunga tetap KPR nonsubsidi 5 persen (selama setahun) dan 6,5 persen (tiga tahun). Dengan pameran itu, BTN mampu meraih kredit baru Rp 8,36 triliun di atas target Rp 5 triliun yang menyiratkan daya beli masyarakat masih cukup kukuh.

Di luar pameran, Bank Panin menawarkan suku bunga tetap KPR 6,99 persen (tiga tahun pertama) dan 7,99 persen (tiga tahun kedua) serta BRI dengan suku bunga tetap KPR 7 persen (dua tahun). BNI dengan suku bunga tetap KPR 7,10 persen (dua tahun), 8 persen (tiga tahun), 8,40 persen (empat tahun), dan 8,75 persen (lima tahun). Tawaran suku bunga satu digit diharapkan dapat menyuburkan pertumbuhan KPR.

Bank pemerintah/papan atas

Pemerintah dapat mengembangkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Saatnya Indonesia "mengambil alih" jatah ekspor China ke AS setelah AS meninggalkan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Maka, pemerintah perlu mendorong bank pemerintah dan bank papan atas lainnya agar membiayai restrukturisasi mesin yang sudah ketinggalan kereta itu. Dengan mesin modern, TPT akan berdaya saing lebih tinggi.

Penggalakan sektor properti dan industri (TPT) selain dapat menekan kekurangan rumah 11,5 juta, pemerintah pun menciptakan proyek padat karya sekaligus padat modal. Mengapa? Karena kedua sektor itu sanggup menyerap ribuan tenaga kerja dan menggairahkan bisnis ikutan lainnya. Sektor properti mampu membangkitkan bisnis interior dan eksterior, semen, batu kali, batu bata, pasir, besi, kayu, dan cat. Sektor industri (TPT) sanggup menggugah bisnis solar, oli mesin, suku cadang, pengiriman barang, penjahit, dan penanganan limbah. Ringkas tutur, kedua sektor itu dapat menekan jumlah pengangguran yang mencapai 7,1 juta orang (5,3 persen) per Maret 2017.

Keempat, terkait dengan KPR, apakahloan to value (LTV) perlu dinaikkan dari 85 persen menjadi 90 persen sehingga uang muka menjadi 10 persen? Taklah. Kenaikan LTV itu justru akan membebani nasabah karena makin rendah uang muka, makin tinggi angsuran bulanan, padahal daya beli stagnan. Hal ini patut dipahami nasabah sejak dini.

Kelima, memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Saatnya UMKM tak hanya menjadi pasar yang luas dan empuk, tetapi UMKM harus berubah dengan memanfaatkan teknologi. Bolehlah kita meniru Singapura yang mengirim pelaku UMKM ke China untuk belajar produk dan jasa UMKM berbasis ekspor.

Bank jangan hanya mengucurkan kredit, tetapi juga dituntut mendampingi UMKM terlebih ultramikro (UMI) dengan pengetahuan praktis, seperti manajemen keuangan, pemasaran, risiko, dan ekspor- impor. Ujungnya, UMKM naik kelas menjadi berbasis ekspor dan perdagangan-el. Sejatinya, 61 juta usaha yang masuk kategori UMKM merupakan soko guru ekonomi rakyat dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Keenam, mengoptimalkan APBN-P 2017 Rp 1.239,98 triliun sebagai amunisi tambahan untuk menggairahkan ekonomi. Plus anggaran daerah yang parkir di bank Rp 222,6 triliun naik 3,68 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu Rp 214,7 triliun. Belum lagi dana desa Rp 60 triliun.

Karena itu, Presiden Jokowi perlu memecut kepala daerah lebih keras agar mereka lebih berani membelanjakan anggaran sehingga penyerapan anggaran naik. Bank-bank pembangunan daerah semestinya bukan lagi sebagai bendahara pemerintah daerah, melainkan penghela pembangunan di daerahnya. Itulah wujud visi BPD menjadiregional champion.

Berbekal aneka langkah strategis sebagai energi positif, ekonomi diharapkan bisa lari lebih cepat. Walhasil, target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada 2017 bisa direngkuh.

PAUL SUTARYONO

Pengamat Perbankan; Mantan Assistant Vice President BNI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Menepis Tekanan Ekonomi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger