Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 19 September 2017

TAJUK RENCANA: Pesan "Perang" dari KPK (Kompas)

Entah apa di benak Wali Kota Batu, Jawa Timur, Eddy Rumpoko. Di akhir masa tugasnya, dia berakhir di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Eddy ditangkap di rumah dinasnya, Sabtu (16/9). Ia diduga menerima suap terkait sejumlah proyek di Batu. Masa jabatannya berakhir Desember 2017. Eddy akan menyerahkan jabatan kepada istrinya, Dewanti Rumpoko, sebagai Wali Kota Batu terpilih, April lalu.

Mungkin Eddy terlalu senang. Ia nyaris melewati masa tugasnya dengan "baik" dan berhasil mendukung istrinya sebagai pengganti. Dia menjadi kurang waspada. Padahal, sebuah pepatah Latin mengingatkan, abite nummi, ego vos mergam, ne mergar a vobis ('pergilah wahai uang, saya akan menenggelamkan kamu, sehingga kamu tak bisa menenggelamkan saya'). Partai yang didukung dan mendukungnya, yaitu PDI-P, langsung memberhentikannya.

KPK sebenarnya selama 2017 mengirimkan sinyal yang terang mengenai perang melawan korupsi, sekalipun ditentang sebagian politisi dan dibenturkan dengan DPR melalui Panitia Khusus Hak Angket DPR terhadap KPK. Setelah Januari lalu menangkap hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, nyaris setiap bulan ada saja pejabat yang ditangkap KPK. Untuk kepala daerah, tercatat tahun ini sudah lima gubernur, bupati, atau wali kota yang tertangkap tangan oleh KPK.

 
KOMPASNEWSPAPERKPK sebenarnya selama 2017 mengirimkan sinyal yang terang mengenai perang melawan korupsi, sekalipun ditentang sebagian politisi dan dibenturkan dengan DPR

Tiga hari sebelum menangkap Eddy, Rabu (13/9), KPK mengamankan Bupati Batubara, Sumatera Utara, OK Arya Zulkarnaen yang diduga menerima suap. Selasa (12/9), KPK juga menangkap Wali Kota Tegal, Jawa Tengah, Siti Masitha. Di Jatim, awal Agustus 2017, KPK menangkap Bupati Pamekasan Achmad Syafii. Juni 2017, sejumlah pejabat dan anggota DPRD Jatim serta pejabat dan pimpinan DPRD Kota Mojokerto tertangkap KPK.

Sejumlah politisi menganggap, maraknya penangkapan penyelenggara negara, termasuk kepala daerah dan anggota DPRD, menunjukkan kegagalan komisi antirasuah itu menjalankan tugas pencegahan korupsi. Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, pemberantasan korupsi termasuk pencegahan. Namun, KPK juga memiliki tugas melakukan penindakan terhadap pelaku korupsi.

Temuan KPK menunjukkan, 32 persen yang terjerat korupsi adalah aktor politik. Mereka adalah 78 kepala daerah dan 134 anggota DPR atau DPRD, belum termasuk OK Arya, Eddy, serta pimpinan DPRD Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang ditangkap KPK September ini.

Kegaduhan antara DPR, partai, dan KPK membuat sejumlah aktor politik yang semula tak berniat korupsi merasa terlindungi dan terlena. Suap yang seharusnya menjadi musuh penyelenggara negara kini menyeret dan menenggelamkan mereka.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Pesan "Perang" dari KPK".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger