Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 11 September 2017

Utang yang Menambal Defisit (ROBERT A SIMANJUNTAK)

Bagi suatu negara, utang adalah alternatif sumber pembiayaan pembangunan. Namun, jika dalam dunia usaha berutang itu lumrah, untuk konteks negara ini adalah isu yang sensitif. Bahkan, ada yang menganggap tabu. Demikian pula di Indonesia.

Belakangan ini, diskursus soal utang pemerintah agak memanas. Tentu saja dengan segala pro dan kontra. Yang bergaung kencang adalah kekhawatiran bahwa utang pemerintah sudah sangat besar sehingga bisa membahayakan perekonomian. Dikatakan bahwa utang pemerintah saat ini sudah menabrak koridor yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Bahkan, ada yang secara ekstrem mengatakan, Indonesia sudah dalam kondisi darurat utang.

Benarkah? Mari kita cermati. Dalam Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003, pengaturan soal batasan utang ada di Pasal 12 Ayat 3. Di situ dinyatakan: "defisit anggaran . dibatasi maksimal 3% dari produk domestik bruto (PDB), dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB."

Data menunjukkan, defisit anggaran sejak berlakunya Undang-Undang Keuangan Negara ini selalu di bawah 3 persen dari PDB. Realisasi APBN 2016 menunjukkan defisit 2,49 persen, sementara outlook APBN 2017 memperkirakan defisit akan sebesar 2,67 persen. Jumlah total utang publik per Juli 2017 sekitar Rp 3.700 triliun atau 28 persen dari PDB. Jadi, tak ada pelanggaran undang-undang.

Kemudian, jika kita bandingkan dengan negara lain, porsi utang Pemerintah Indonesia yang 28 persen PDB itu pun tak besar. Sebagai contoh, utang Pemerintah Jepang dewasa ini 239 persen kali PDB- nya, kemudian Amerika Serikat 107 persen, Brasil 78 persen, India 70 persen, Vietnam 62 persen, Malaysia 56 persen, dan Thailand 42 persen.

Perbandingan itu akan semakin bisa dipahami dengan memakai data per kapita. PDB per kapita Indonesia tahun 2016 adalah sekitar 3.604 dollar AS. Di sisi lain, utang pemerintah per kapita adalah 1.004 dollar AS. Tidak sampai sepertiganya. Bandingkan dengan Jepang yang PDB per kapitanya 38.917 dollar AS, sementara utang per kapitanya 93.095 dollar AS, atau Amerika Serikat dengan PDB per kapita 57.436 dollar AS versus utang per kapita 61.658 dollar AS. Bahkan Vietnam yang PDB per kapitanya lebih kecil, yakni 2.173 dollar AS, memiliki utang per kapita yang lebih besar, yakni 1.459 dolar AS, dibandingkan Indonesia.

Jadi, berdasarkan standar internasional, utang Pemerintah Indonesia masih aman. Apalagi, kalau kita melihat fakta bahwa tiga lembaga pemeringkat utang internasional yang bergengsi-Fitch, Moody's, dan Standard and Poor's-dewasa ini memberikan Indonesia peringkat layak investasi. Maka, tidak mungkin kalau ada darurat utang.

Utang sebagai investasi taktis

Namun, mengapa harus berutang?

Nah, di sini kita semua tentu paham bahwa pemerintah butuh duit untuk mendanai tugas dan fungsinya melayani masyarakat. Juga untuk menjalankan fungsinya sebagai kekuatan penggerak (driving force) pembangunan. Dari mana sumbernya? Jawaban spontan tentu dari pajak. Jarang yang akan menjawab utang. Jawaban yang masuk akal. Karena idealnya mungkin begitu, yakni semua kegiatan pemerintah didanai pajak. Politisi dan orang banyak akan mengartikannya sebagai kemandirian. Berdikari. Namun, apakah itu mungkin?

Mari kita tengok anggaran negara. Seperti juga anggaran rumah tangga, anggaran negara mencakup pendapatan dan belanja. Pendapatan negara sebagian besar diperoleh dari pajak. Sulit untuk memastikan berapa persisnya jumlah pendapatan yang akan diperoleh dalam satu tahun anggaran. Banyak faktor yang memengaruhi, terutama kepatuhan pajak masyarakat. Oleh karena itu, jumlahnya merupakan proyeksi atau estimasi.

Sementara untuk belanja, ketika anggaran disepakati, itu merupakan komitmen yang mesti dipenuhi pemerintah. Besaran dari masing-masingitem dalam belanja tersebut praktis mencerminkan segala fungsi, tugas, dan kewajiban negara kepada masyarakat.

Secara empiris, anggaran di banyak negara cenderung defisit. Artinya, dalam praktiknya belanja hampir selalu lebih besar dari pendapatan. Faktanya memang lebih sulit memotong belanja-yang sudah merupakan komitmen atau janji politis- ketimbang mendorong pemerintah untuk lebih meningkatkan pendapatan atau mencari sumber pendanaan lain.

Inilah yang terjadi di Indonesia. Kebutuhan dana untuk membangun infrastruktur sangat besar karena kondisinya yang relatif tertinggal dibandingkan negara-negara lain dan sebarannya yang sangat timpang. Tidak akan mungkin Indonesia bisa memacu pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen per tahun apabila kondisi jalan, jembatan, pelabuhan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan lainnya masih seperti dewasa ini. Maka, apabila pemerintahan Jokowi saat ini terlihat menggenjot pembangunan infrastruktur, itu karena sudah sangat mendesak.

Selain infrastruktur, ada kebutuhan untuk dana pendidikan yang oleh konstitusi diwajibkan minimal 20 persen dari total anggaran, lalu kebutuhan dana kesehatan yang sedikitnya 5 persen, dan berbagai macam kebutuhan lainnya yang tidak bisa ditunda. Belum lagi menghitung kebutuhan yang bersifat rutin, seperti gaji pegawai negeri dan TNI. Terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah kita juga mesti membayar cicilan dan bunga dari utang-utang masa lalu.

Maka, untuk bisa mendanai semua kebutuhan belanja tersebut, penerimaan pajak tentu harus digenjot. Reformasi perpajakan mesti dilakukan terus-menerus. Amnesti pajak yang baru-baru ini dilakukan merupakan bagian dari proses reformasi itu. Meskipun penerimaan pajak kita terus meningkat, tetap saja tidak akan bisa menutupi semua kebutuhan belanja yang juga terus membengkak. Defisit tak terhindarkan. Di sinilah utang bisa berperan, untuk menambal defisit.

Dengan berutang, semua rencana belanja pembangunan yang tidak bisa didanai pajak tetap bisa dijalankan. Dengan berutang, kita bisa lebih banyak membangun infrastruktur fisik sekaligus juga lebih mampu meningkatkan mutu modal manusia. Kita bisa mewujudkan di masa kini apa-apa yang tanpa utang baru akan (mungkin) bisa kita realisasikan di masa depan. Dengan berutang, kita dapat mempercepat laju pembangunan. Meminjam istilah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, utang adalah tactical investment. Investasi yang taktis. Investasi yang melampaui kapasitas kita.

Pengelolaan utang

Bagaimana dengan sinyalemen bahwa utang hanya akan membebani generasi mendatang? Ini sangat tergantung dengan bagaimana utang dikelola. Jika utang digunakan secara serampangan, apalagi kalau dikorupsi, tentu tidak akan memberi manfaat bagi masyarakat. Bahkan, anak- cucu mungkin hanya akan ikut menanggung beban cicilan dan bunga. Namun, dengan penggunaan yang baik dan benar, utang akan membantu mengakselerasi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Ujungnya, kesejahteraan akan menjadi lebih baik yang tentu akan dinikmati juga oleh anak-cucu. Maka, pengelolaan utang yang baik dan benar menjadi kata kunci.

Secara empiris, tidak sedikit contoh pengelolaan utang yang bisa kita tiru, di samping banyak pula contoh buruk yang mesti dihindari. Jerman dan Jepang barangkali contoh terbaik. Keduanya hancur lebur sesudah kalah dalam Perang Dunia II. Praktis tidak ada dana untuk membangun dari puing-puing. Satu-satunya alternatif adalah bantuan dana dari luar. Namun, hanya dalam tempo tidak terlalu lama, perekonomian Jepang dan Jerman bangkit.

Utang yang dikelola secara baik dan disiplin menjadi salah satu faktor penting kebangkitan mereka. Bahkan, tidak sampai satu dekade sesudah perang, Jerman (Barat) sanggup menjuarai Piala Dunia sepak bola! Selama puluhan tahun Jepang dan Jerman menjadi ekonomi terbesar kedua dan ketiga dunia setelah Amerika Serikat. Hanya mulai tahun 2010, posisi mereka turun ke peringkat ketiga dan keempat disusul Tiongkok yang melompat ke posisi dua.

Sampai detik ini pun, kedua negara tersebut tetap berutang walaupun mereka sudah merupakan negara yang maju dan sejahtera. Mereka tetap meyakini bahwa realisasi pemenuhan kebutuhan publik yang lebih cepat-baik jumlah maupun kualitas-akan lebih menguntungkan bagi masyarakat ketimbang menundanya hanya karena keterbatasan pendapatan pajak. Jadi, persoalannya bukan pada salah atau benarnya berutang, melainkan bagaimana kita mengelola dan mengalokasikan dengan baik dan berhati-hati (prudent). Indonesia mesti mencontoh negara-negara semacam Jerman dan Jepang agar utang-utangnya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan menaikkan pendapatan serta sebisa mungkin mengurangi ketimpangan.

ROBERT A SIMANJUNTAK

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Utang yang Menambal Defisit".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger