Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 11 Oktober 2017

ARTIKEL OPINI: Pajak Dosa JKN (FACHMI IDRIS)

Pajak dosa (sin tax)—pajak yang dikenakan pada barang-barang yang tidak dikehendaki atau berdampak merusak pada masyarakat, seperti alkohol atau tembakau—sangat penting diterapkan untuk keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JKN KIS. Khususnya, sebagai alternatif mengatasi defisit BPJS Kesehatan.

Translasi sin tax adalah cukai, yaitu pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang pemakaiannya menimbulkan dampak negatif. Contoh pajak dosa adalah cukai rokok. Dosanya, membuat masyarakat sakit.

Karena sifat "dosanya", cukai harus dikembalikan untuk mengatasi bahaya kesehatan akibat rokok. Studi ilmiah bahaya rokok terhadap kesehatan tidak terbantahkan. Namun, pemerintah tidak bisa menghentikan perokok. Artinya, silakan merokok. Cukai adalah mekanisme yang adil untuk membayar dosa karena merusak kesehatan.

Di ASEAN, Filipina adalah negara yang sangat baik mengelola pajak dosa tersebut. Di Eropa, Romania dapat dijadikan acuan (benchmark). Filipina melalui BPJS kesehatannya (Philhealth) menerima alokasi 85 persen dana cukai rokok untuk membiayai JKN mereka. Apakah Filipina hebat? Tidak juga. Filipina menjalankan apa yang seharusnya, yaitu menggunakan pajak dosa secara benar.

Pajak dosa dan defisit BPJS Kesehatan

Pemanfaatan pajak dosa untuk JKN KIS harus dipahami dalam konteks penjelasan utuh tentang adanya pemberitaan defisit BPJS Kesehatan yang selama ini dominan digambarkan karena adanya salah kelola. Hal ini perlu disampaikanmengingat tidak ada yang menjelaskan lebih dalam bahwa pendanaan JKN KIS berprinsipkan anggaran berimbang.

Apa yang dimaksud anggaran berimbang? Untuk diketahui, JKN KIS dihitung setiap tahunnya, berdasarkan prinsip pendapatan dan pengeluaran haruslah sama. Pendapatan utama bersumber dari iuran peserta. Hal yang belum banyak diketahui publikadalah iuran saat ini belum sesuai angka ideal hitungan akademik.

Seharusnya iuran peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri kelas 3 adalah sebesar Rp 53.000, tetapi ditetapkan sebesar Rp 25.500. Artinya apa? Artinya, apabila ada satu peserta mandiri mendaftar, BPJS Kesehatan tekor Rp 27.500 per kepala. Bayangkan kalau yang mendaftar berjuta-juta orang. Belum lagi peserta mandiri kelas 2 serta masyarakat miskin dan tidak mampu yang iurannya juga di bawah angka seharusnya. Kondisi ini menjadi sumber utama defisit BPJS Kesehatan.

Pilihan politik anggaran

Sangat menarik. Iuran kurang, programnya nekat dijalankan. Di sinilah kuatnya komitmen pemerintah untuk memastikan amanah konstitusi berjalan. Opsi menaikkan iuran bukan satu-satunya pilihan karena pemerintah tidak ingin membebani rakyat.

Ada opsi lain, yaitu mengurangi manfaat JKN KIS. Misalnya, pelayanan penyakit jantung dihilangkan. Pasti defisit hilang sendiri. Defisit tahun 2016 sebesar Rp 6,8 triliun. Biaya beban membayar penyakit jantung Rp 7,4 triliun. Namun, ini juga tidak menjadi pilihan. Bagaimanapun juga, hak atas sehat adalah hak warga. Presiden Jokowi menjamin hal tersebut.

Mengingat opsi menaikkan iuran dan mengurangi manfaat bukan pilihan, regulasi memberikan opsi terakhir, yaitu pilihan politik anggaran berupa suntikan dana tambahan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebuah pilihan berat mengingat anggaran negara terbatas.

Pilihan ini tidak tiba-tiba. Berbeda dengan pemberitaan tentang defisit BPJS Kesehatan yang terkesan "seksi", perhitungan adanya defisit sudah dilakukan secara matang, paling tidak di setiap awal tahun anggaran.Berbasis data historis pemanfaatan JKN KIS, jutaan data dianalisis. Berapa banyak masyarakat menggunakan. Berapa rupiah rata-rata biaya kesehatan setiap kali pemanfaatan. Berapa besar biaya pelayanan dikendalikan sehingga tidak terjadi pembayaran berlebih. Berapa besar pemanfaatan yang tidak perlu dapat dicegah. Kesemuanya itu membutuhkan keahlian tertentu.

Dalam penyusunan anggaran, terlibat Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan yang memprediksi terjadinya defisit. Artinya, sebelum berjalan sudah diketahui JKN KIS akan defisit. Kemudian disiapkan alokasi dana tambahan. Lalu, dari mana uangnya? Dari APBN pasti akan sangat membebani.

Berkaca ke Filipina, harusnya kita mengoptimalkan pajak dosa. Pisahkan pajak dosa dari pajak umum. Alokasikan khusus untuk kesehatan. Sayangnya, postur APBN menempatkan pajak dosa sebagai sumber anggaran pembangunan yang dipakai ke mana-mana. Apakah memungkinkan dilakukan "re-posturisasi" APBN bersumber cukai tembakau untuk dialokasikan khusus guna menutup defisit JKN? Jawabnya tidak mudah, bahkan tidak mungkin.

Pungutan rokok untuk kesehatan

Lalu, apakah JKN KIS akan bangkrut? Tentu tidak selama ada komitmen mencari jalan keluar. Saat ini dipersiapkan opsi bauran intervensi untuk memastikan keberlanjutan JKN KIS.Bauran itu antara lain pemanfaatan pajak rokok di luar skema cukai rokok, APBD khusus untuk JKN, berbagi biaya ke Asuransi Jasa Raharja untuk JKN KIS akibat kecelakaan lalu lintas dan ke BPJS Ketenagakerjaan untuk JKN KIS pada penyakit akibat kerja.

BPJS Kesehatan telah mengkaji usulan menutup defisit JKN KIS melalui inovasi pendanaan Pungutan atas Rokok untuk Kesehatan (PRUK). Hal yang berbeda dengan cukai rokok yang kadung masuk APBN sebagai pendapatan negara yang bercampur jadi satu. Juga berbeda dengan pajak rokok, yang merupakan pungutan pajak atas nilai cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat dan dialokasikan ke provinsi?

Sudah diketahui akhirnya, pendanaan BPJS Kesehatan mengalami defisit akibat belum idealnya struktur iuran. Kemudian, diperberat untuk membiayai penyakit akibat rokok. Dua kondisi yang berpotensi mengganggu keberlanjutan JKN KIS sehingga diperlukan sumber pendanaan baru di luar cukai rokok.

Gagasan sumber pendanaan baru adalah PRUK. Sifatnya on top dari cukai rokok dan tidak akan membebani APBN. Pungutan ini digunakan untuk menutup defisit JKN KIS secara umum. Tidak hanya bagi peserta JKN KIS yang merokok karena faktanya banyak peserta JKN KIS menjadi perokok pasif.

PRUK memiliki keunggulan. Pertama, tidak mengurangi alokasi anggaran kesehatan. Kedua, tidak membebani pemerintah daerah. Ketiga, mekanisme pungutannya lebih mudah. Potensi dana terkumpul dari PRUK mulai dari Rp 13,80 triliun hingga Rp 21,30 triliun per tahun.

Penerapan PRUK tidak boleh mengganggu keberadaan industrisigaret kretek tangan (SKT).Usulannya adalah PRUK diterapkan pada industri rokok buatan mesin.Pertimbangannya adalah pangsa pasar cukup besar,bersifat padat modal, jumlah pabrik lebih sedikit, dan merupakan penyumbang konsumsi rokok terbanyak. Opsi ini akan mengurangi keberatan dari pabrik rokok jenis SKT yang bersifat padatkarya dan jumlah pabriknya lebih banyak. Dengan demikian, adanya PRUK bersama cukai dan pajak rokok akan semakin memberikan kontribusi positif untuk pembangunan kesehatan dan keberlanjutan JKN KIS.

FACHMI IDRIS, DIRUT BPJS KESEHATAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2017, di halaman 6 dengan judul "Pajak Dosa JKN".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger