Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 03 Oktober 2017

Atas Nama Sejarah (IGNAS KLEDEN)

September dan Oktober seakan menjadi "musim sejarah" dalam siklus politik Indonesia. Pada akhir September dan awal Oktober diingat kembali Peristiwa G30S, yang mengakhiri rezim Orde Lama dan mengawali munculnya Orde Baru.

Tetapi, pergantian rezim itu disertai pembubaran PKI sebagai sebuah parpol dan langkah-langkah yang menumpas siapa pun yang dianggap berhubungan dengan partai itu. Pembunuhan para jenderal TNI telah membuat usaha kudeta 30 September 1965 dan PKI yang dianggap mastermind-nya menjadi peristiwa yang amat memukul TNI, khususnya Angkatan Darat, yang harus melihat para jenderalnya menemui ajal yang dipaksakan lewat pembunuhan dan dimakamkan dengan cara amat tak terhormat di sebuah tempat yang disembunyikan. Efek emosionalnya, TNI kemudian menganggap PKI adalah masalah nasional yang juga telah menikam kehormatan mereka sebagai satuan dengan semangat korps yang tinggi.

G30S adalah bab kelam dalam sejarah Indonesia Merdeka. Sebuah film yang dibuat sineas Arifin C Noer atas perintah Soeharto dimaksudkan, antara lain, sebagai dokumen melawan lupa tentang bab kelam dalam sejarah politik negeri ini. Timbul kemudian kontroversi tentang otentisitas peristiwa yang diperlihatkan, tentu saja dengan pertanyaan apakah film itu mendokumentasikan dengan setia peristiwa yang terjadi atau sudah mengalami distorsi agar sesuai dengan kehendak rezim berkuasa waktu itu..  Sejarah, seperti nasib ilmu sosial dan ilmu humaniora yang lain, mengalami suatu dilema yang sulit.

Sejarawan Ong Hok Ham pernah menulis, sejarah merupakan suatu bidang ilmu yang paling terbuka untuk dimasuki orang-orang yang bukan sejarawan. Ini karena, seperti halnya ilmu politik, antropologi, atau sosiologi, ilmu sejarah selalu melewati tahapan penelitian fakta sejarah, tafsir tentang fakta sejarah, dan penggunaan atau pemanfaatan sejarah. Ada perbedaan besar di antara penelitian sejarah dan pemanfaatan sejarah.

Kesulitan yang dihadapi para peneliti dalam ilmu pengetahuan: tanggung jawab terakhir mereka sebagai peneliti hanya sampai pada akuntabilitas hasil penelitian, yaitu dengan metode apa dia sampai kepada hasil itu, sumber-sumber apa saja yang digunakan dalam penelitian, apakah hasil penelitian berlaku cukup luas atau amat terbatas, apakah hasil-hasil itu dapat diuji melalui validasi menurut cara-cara tertentu yang dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Apa yang tidak bisa dikontrol para peneliti ialah penggunaan hasil-hasil penelitian, entah untuk promosi bisnis, untuk tujuan pendidikan, untuk legitimasi suatu tindakan politik, atau untuk kritik terhadap suatu kebijakan politik.

Kekacauan orientasi

Pelajaran yang perlu diingat dari masa Orde Baru ialah menganggap kebijakan politik yang dibuatnya punya dasar ilmiah. Oposisi politik dilarang waktu itu karena, katanya, kebudayaan-kebudayaan Indonesia pada dasarnya menganut asas harmoni dan tak mengenal konflik. Ini adalah suatu pernyataan politik, yang tak bisa divalidasi melalui verifikasi ilmiah karena demikian banyak penelitian dalam ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, dan ilmu politik,  menunjukkan bahwa konflik adalah hal lumrah dalam berbagai kelompok budaya di Indonesia, sama seperti kelompok budaya di negeri lain di dunia. Yang berbeda cara menafsirkan dan menyelesaikan konflik yang dapat berlainan dari satu kelompok budaya ke kelompok budaya lain.

Dalam praktik ini, artinya kebijakan politik dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmiah (misalnya apakah program untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dapat terus dilanjutkan sebagai suatu indikator keberhasilan pembangunan, sekalipun diketahui bahwa angka pertumbuhan yang ada sering ditunjang pertumbuhan di sektor ekonomi-uang yang sedikit sekali bersentuhan dengan sektor riil dalam kegiatan ekonomi masyarakat).

Namun, sebuah kebijakan politik adalah tindakan politik, yang harus dipertanggungjawabkan dengan argumen politik dan bukan dengan argumen ilmiah. Ini penting diperhatikan karena penelitian ilmiah berjalan dengan aturan dan kriteria sendiri yang jelas berlainan dari kriteria politik. Kesadaran tentang perbedaan di antara tindakan politik dan tindakan ilmiah ini sudah diberikan contoh yang baik oleh para Bapak Bangsa dan Ibu Bangsa kita, yaitu mereka yang kita hormati sebagaifounding fathers dan founding mothersnegara kita.

Pada 1928, Prof van Vollenhoven, yang dikenal sebagai ahli hukum adat yang besar pengaruhnya di universitas-universitas  Belanda dan dihormati di kalangan pemerintah di Hindia Belanda, menulis di majalah Koloniaal Tijdschriftdan  mempersoalkan pemakaian nama Indonesia untuk seluruh Hindia Belanda. Menurut guru besar itu, nama Indonesia tak bisa digunakan untuk Hindia Belanda. Alasannya, Indonesia mencakup daerah yang lebih luas dari Hindia Belanda dan orang-orang Indonesia yang tinggal di luar Hindia Belanda ada 15 juta orang meskipun jumlah terbesar sebanyak 49 juta orang merupakan penduduk Hindia Belanda.

Dengan dua alasan itu, nama Indonesia tak dapat dipakai untuk Hindia Belanda. Dalam tanggapannya di koran De Socialist, 22 Desember 1928, Bung Hatta mengajukan bantahan terhadap argumen van Vollenhoven. Menurut Bung Hatta, nama Indonesia adalah suatu istilah politik ketatanegaraan, bukan istilah untuk geografi atau etnologi. Istilah dan batasan ilmiah dalam geografi dan etnologi tidak dapat menjadi dasar bagi suatu politik ketatanegaraan yang dikehendaki. 

Demikian pun menurut statistik kolonial, pendapatan rata-rata petani Jawa pada masa sebelum malaise  1930-an adalah 8 sen sehari. Menurut Economisch Weekblad, pendapatan rata-rata per hari itu kemudian merosot tajam dalam masa malaise menjadi 2,5 sen sehari. Maka pada 26 Oktober 1932 Direktur Pemerintahan Dalam Negeri melaporkan dalam sidang Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda) bahwa seorang pribumi ternyata bisa hidup dengan pendapatan 2,5 sen sehari. Dalam sebuah surat kabar masa itu  (Fikiran Ra'jat),  Bung Karno menanggapi laporan yang dinilai mendistorsikan kenyataan karena pribumi bukannya bisa hidup atau cukup makan dengan 2,5 sen sehari, melainkan terpaksa hidup dengan 2,5 sen sehari. Laporan di atas memberikan kesan seakan sebuah survei ekonomi membuktikan pribumi sanggup hidup dengan pendapatan serendah itu, juga jika dibandingkan negara lain yang juga miskin.

Bulgaria yang "tersohor melarat" masih punya pendapatan 13 sen sehari dan India sebagai koloni Inggris, menurut Gandhi, punya pendapatan 10 sen sehari. Jadi, pernyataan direktur itu suatu pernyataan politik untuk membebaskan pemerintah kolonial  Hindia Belanda dari tanggung jawab terhadap kemiskinan dan kelaparan yang melanda nasib pribumi dan cara untuk menurunkan upah pribumi, yang diajukan dalam bentuk yang seolah-olah suatu temuan ilmiah. Apa yang lebih valid secara ilmiah ialah mengatakan bahwa pribumi terpaksa hidup dengan 2,5 sen sehari karena pemerintah kolonial tidak melakukan apa pun untuk meringankan keadaan penduduk pribumi selagi mereka ditimpa malaise besar.

Contoh-contoh ini cukup memperlihatkan bahaya yang timbul dalam pikiran kita berupa kekacauan orientasi akibat rancunya perbedaan antara pernyataan politik dan proposisi ilmiah dan antara keputusan politik yang harus dieksekusi dan kegiatan ilmiah dalam mencari tahu apa yang terjadi dan memberikan pertanggungan jawab tentang temuan dalam pencarian itu.  Dalam arti itu, pembubaran PKI oleh Orde Baru adalah tindakan politik yang  harus dibenarkan oleh alasan dan argumentasi politik, dan tak dengan sendirinya dilegitimasi alasan ilmiah.

Pembubaran PKI secara politik tak memungkinkan lagi hidupnya partai dengan ideologi komunisme di Indonesia, tetapi penelitian tentang peralihan rezim dari Orde Lama ke Orde Baru akan berjalan terus, dan dalam hal itu penelitian tentang kasus G30S juga akan berjalan terus karena suatu bangsa yang bertanggung jawab ingin mendapat jawaban mengapa pada suatu masa bangsanya bertindak dengan cara itu dan bukan dengan cara lain.  Ilmu pengetahuan adalah suatu bidang yang menarik perhatian dan kepentingan semua orang. Dengan demikian, kalau penelitian tentang peristiwa sejarah penting seperti peralihan ke rezim Orde Baru itu tidak dimungkinkan untuk peneliti Indonesia, maka penelitian yang sama akan dilakukan oleh para peneliti asing.

Penelitian ini akan dilakukan secara ilmiah dalam studi sejarah, ilmu politik, sosiologi politik atau antropologi politik, dan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang lain. Temuan-temuan penelitian ini pada suatu saat mungkin bertentangan dengan asumsi dan pertimbangan yang ada pada pemerintah Orde Baru tentang situasi politik 1965. Tetapi, temuan ilmiah tak dengan sendirinya memfalsifikasi suatu keputusan politik yang telah dibuat karena keputusan-keputusan politik itu didasarkan pada asumsi, argumen, dan pertimbangan politik, dan berbeda wataknya dari suatu asumsi ilmiah. Suatu proposisi ilmiah dibuat berdasar data empiris (on the basis of empirical evidence), sedangkan keputusan politik bisa dibuat bertentangan dengan data yang ada (in spite of empirical evidence) karena didasarkan pada political will atau kemauan politik.

Belajar dari sejarah

Pertentangan antara kemauan politik dan temuan ilmiah mendapat suatu locus classicus dalam persiapan kemerdekaan Indonesia. Dapat dipahami sebagian besar pemimpin pada 1940-an masih skeptis tentang kemerdekaan yang dikehendaki karena secara empiris berbagai kondisi yang ada belum memungkinkan Indonesia merdeka waktu itu. Kemampuan ekonomi belum ada, kecakapan teknis administratif belum dipersiapkan, tingkat literasi sangat rendah, pendidikan masih serba terbatas, dan kalangan terdidik masih dapat dihitung dengan jari tangan. Itu sebabnya Hatta dan Sjahrir mendirikan PNI Baru dengan platform yang bertujuan memberikan pendidikan agar tenaga yang sudah dilatih kelak punya kecakapan teknis dan administratif untuk menyelenggarakan pemerintahan setelah ditinggalkan para administrator dan pejabat Belanda.

Di pihak lain, Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 mengatakan dengan tegas, sekalipun secara empiris kita belum siap, kita harus merdeka sekarang juga karena hanya kemerdekaanlah yang memungkinan kita mempersiapkan segala sesuatu yang kita perlukan sebagai negara merdeka. Di sini kehendak politik bertentangan dengan kenyataan historis dan empiris. Kehendak politik ini didasarkan asumsi kehidupan negara merdeka tak ditentukan oleh kondisi historis dan empiris yang ada, tetapi oleh kemauan dan keberanian untuk merdeka. Kita tak tergantung sejarah karena kemerdekaan memungkinkan kita membuat sejarah baru dan mengubah jalannya sejarah.

Sejarah konon penting karena orang yang tak mengenal sejarah ditakdirkan mengulang kesalahan masa lampau. Sejarah dianggap memberikan bahan pelajaran. Namun, dalam kenyataan, orang bisa saja banyak membaca buku sejarah tetapi tak mengambil suatu pelajaran daripadanya.  Sudah diketahui dari sejarah, pelanggaran hukum akan diadili dan dapat sanksi hukum, bahwa korupsi merugikan negara dan masyarakat dan tak layak ditoleransi,  bahwa sikap ekstremis dalam politik lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, bahwa menyerang lawan politik sebagai musuh politik adalah salah besar, bahwa orang bisa saja menjadi king maker tetapi dengan cepat dapat berubah menjadi king killer, bahwa politik sebagai seni kemungkinan atau the art of the possible  tak sama dengan oportunisme politik-tetapi semua kesalahan itu tetap berulang setiap masa. Maka jangan kita heran bahwa filosof lain sampai pada kesimpulan bahwa pelajaran satu-satunya yang kita peroleh dari sejarah ialah kita tak pernah belajar sesuatu pun dari sejarah.

Tragedi dalam sejarah selalu menimbulkan rasa sakit untuk tiap orang yang menjadi korban. Pengetahuan tentang tragedi itu dapat menimbulkan dendam pada korban dan barangkali penyesalan pada pihak yang menimbulkan korban. Namun, penyesalan saja tak cukup. Sesal (remorse ), menurut filosof Max Scheler , hanya mengandung suatu harapan irealis, berupa keinginan agar apa yang sudah terjadi hendaknya tak terjadi. Sesal hanya berorientasi ke masa lampau, dan tak mengubah apa-apa pada masa sekarang. Yang dibutuhkan oleh perubahan dan pembaharuan bukanlah sesal (remorse) tetapi pertobatan (conversion), yaitu keputusan untuk tak mengulang kesalahan yang sudah terjadi dan tekad untuk mengatur perilaku yang lebih adil terhadap orang lain. Berlainan dengan sesal yang berorientasi ke masa lampau, tobat adalah keputusan untuk masa depan.  Tidak ada gunanya seseorang meratapi kesalahannya sepanjang tahun tetapi tidak mengambil satu keputusan pun untuk masa depan.

Jerman pernah menanggung beban masa lampau amat berat karena merasa menjadi penyebab perang dunia yang membawa korban jutaan orang, dan kemudian mengalami bagaimana bangsa dan negaranya dipecah dua selama 40 tahun oleh kekuatan sekutu. Setelah tembok Berlin runtuh 10 November 1989, kedua belahan Jerman bersatu kembali dan menghadapi berbagai persoalan besar untuk penyesuaian kembali. Bangsa itu kemudian bangkit dan memutuskan untuk tidak boleh terbeban terus-menerus dengan masa lampau. Muncul semboyan baruBewaeltigung der Vergangenheit, masa lampau harus diselesaikan dan dibereskan. Beban itu harus diatasi.

Mungkin sudah saatnya kita di Indonesia juga  mengambil sikap yang sama. Kita tak dapat maju apabila terus-menerus menjadi tawanan masa lampau, tanpa mengambil keputusan baru untuk masa depan. Dengan menyesali atau mengutuk masa lampau keadaan tidak akan menjadi lebih baik. Yang dibutuhkan adalah suatu pertobatan nasional, suatunational conversion, yang mengandung keputusan untuk membangun masa depan lebih adil dan lebih manusiawi.  Pegangan kita adalah perilaku para pendiri negara, yang sering sekali berbeda paham dengan sengit, tetapi tetap dekat dalam persaudaraan yang saling menghormati. Bukan suatu kebetulan sejarah bahwa mereka akhirnya melalui diri Bung Karno meninggalkan sebuah warisan bagi seluruh bangsa dalam membangun masa sekarang: Pancasila sebagai filsafat dasar Republik Indonesia.

Sejarawan Inggris, Thomas Carlyle, meninggalkan suatu ucapan yang selalu dikenang dalam politik Inggris, dan banyak dikutip dalam kepustakaan sejarah dunia, tentang pentingnya menghormati para pendahulu dalam sejarah.  Katanya: swerving from our fathers' rules is calling our fathers fools, menyimpang dari aturan leluhur kita sama dengan menyebut mereka tolol. Para pendiri negara kita telah mengorbankan segala-galanya untuk mempersatukan kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, setiap perilaku yang berpotensi atau bermaksud memecah belah kembali bangsa ini  adalah contoh soal bahwa selalu ada orang yang tidak (mau) belajar apa pun dari sejarah bangsanya sendiri.

IGNAS KLEDEN

Sosiolog

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Oktober 2017, di halaman 6 dengan judul "Atas Nama Sejarah".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger