Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 11 Oktober 2017

Rekrutmen Pegawai Kemlu//Kesejahteraan Petani Belum Berubah (Surat Pembaca Kompas)

Rekrutmen Pegawai Kemlu

Saya adalah pensiunan pegawai Kejaksaan Tinggi Jawa Barat berumur 79 tahun. Saya ingin menuturkan kebingungan saya mengenai tata cara penerimaan pegawai di Kementerian Luar Negeri.

Saya mempunyai dua cucu yang melamar ke Kemlu. Keduanya sangat spesial. Mereka lulusan Universitas Indonesia dengan IPK di atas 3,3—bahkan 3,8 skala 4—dan cum laude. IELTS 7,5 dan TOEFL di atas 600.

Hal serupa terjadi juga pada sahabat cucu saya, lulusan Universitas Indonesia, yang melamar ke Kemlu dengan kondisi nilai yang hampir sama dengan kedua cucu saya itu Perlu ditambahkan ketiganya lulus delapan semester kegiatan perkuliahan.

Dalam persyaratan pengajuan lamaran itu disebutkan bahwa IPK minimal 2,75 skala 4 dan mereka dari program studi sesuai dengan yang diperkenankan untuk mendaftar. Semua syarat sudah dipenuhi sehingga mereka dapat mengunggahnya ke laman Kemlu dan berkas fisik sudah dikirimkan jauh hari sebelum batas waktu. Meski demikian, ketiga anak tersebut dinyatakan tidak lulus persyaratan administratif.

Setahu saya, persyaratan administratif adalah saringan awal dari jumlah tes berikutnya. Dengan demikian, jika persyaratan administratif itu sudah dipenuhi, tentu tes selanjutnya itulah yang akan menentukan. Alangkah sayangnya, secara subyektif, dapat saya katakan ketiga anak tersebut adalah anak yang cerdas dan disiplin. Sangat ironis, mereka tidak dapat mengikuti tes-tes selanjutnya untuk menentukan fit and proper mereka.

Mudah-mudahan hal ini tidak menjadi preseden bagi pelamar-pelamar terbaik lainnya yang gugur sebelum tumbuh dan berkembang.

RBG SOEGIARTO PRYOKOESOEMO, JL. ADHYAKSA, SUKAPURA, BANDUNG

Kesejahteraan Petani Belum Berubah

Membaca "Tanggapan Kementan" di Surat kepada Redaksi edisi Kamis, 5 Oktober lalu, saya terkejut. Kebetulan 1-2 hari sebelumnya saya berada di Kecamatan Gantar/Haurgeulis mengunjungi keluarga petani di sana. Dari obrolan dengan mereka, terbaca bahwa keadaan kesejahteraan para petani ini masih belum berubah.

Harga gabah kering giling memang naik, tetapi mereka tidak dapat menjual karena persediaan gabah kering hanya itu dan untuk persediaan makan keluarga (karena khawatir beberapa bulan mendatang belum ada panen).

Terima kasih kepada Kementerian Pertanian yang sudah bekerja keras. Yang penting bagi petani adalah kesejahteraan mereka. Sebagai penyangga kebutuhan makanan pokok beras bagi Ibu Kota, selayaknya petani diberi perhatian. Sebaiknya ada koordinasi antar-kementerian terkait.

Sulit menemui ahli pertanian yang dapat menjadi acuan, minimnya pendidikan sekelas SMK pertanian bagi tenaga muda pertanian. Banyak di antara mereka yang tidak menjadi peserta BPJS. Tidak meratanya pembagian Kartu Indonesia Pintar dan ini menjadi beban juga.

Sepertinya mereka dibiarkan dari tahun ke tahun menjadi mesin produksi yang harus membeli bahan kebutuhan rumah tangga dan produksi dengan harga lebih mahal dan berkualitas rendah. Bahan makanan yang baik untuk kesehatan, seperti daging, ikan, dan buah, tak terjangkau.

Apalagi jika kita bicara kesehatan dan pengobatan. Bukannya mereka tidak tahu bagaimana caranya hidup sehat, tetapi mereka tidak punya dana cukup untuk membeli makanan dan vitamin yang baik. Mereka sudah bekerja dengan cucuran keringat di bawah terik matahari dan air mata ketika malam hari untuk membuat sumur bor agar dapat mengairi sawahnya.

Di banyak negara lain, petani disubsidi pemerintahnya. Memang ini bukan hanya tugas Kementan saja, melainkan juga tugas kita semua dalam mengemban amanah rakyat sesuai dengan visi Nawacita Kabinet Jokowi-JK: terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.

Saya ucapkan terima kasih atas Catatan Redaksi terhadap "Tanggapan Kementan" itu yang sesuai dengan kenyataan. Saran saya, Kompas mengumpulkan tulisan berkenaan pertanian yang telah diturunkan bulan lalu untuk dijadikan satu buku sebagai referensi dan kajian agar keadaannya tidak selalu berulang.

JIMMY SANDJAJA, TANJUNG DUREN SELATAN, JAKARTA BARAT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger