KOMPAS/DIDIE SW

credit="Istimewa

Bulan lalu pemerintahan Presiden Joko Widodo genap berusia tiga tahun. Periode kepemimpinannya ditandai pergeseran paradigma kebijakan fiskal, yakni peralihan dari isu pengeluaran ke penerimaan.

Jika sebelumnya kita selalu berjibaku untuk menjaga subsidi agar tak membengkak, kini tantangannya adalah kemampuan kita menghimpun pendapatan negara untuk memastikan ketercukupan sumber pembiayaan pembangunan. Di tengah harapan besar terhadap kinerja perpajakan pasca program amnesti pajak, justru muncul kesimpangsiuran arah kebijakan pajak. Lalu, apa saja yang telah dicapai oleh pemerintahan Jokowi, tantangan yang masih menghadang, dan pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan?

Pergeseran paradigma fiskal

Kepemimpinan Presiden Jokowi menandai babak baru kebijakan fiskal Indonesia. Meski APBN sendiri merupakan sebuahcontinuum yang tak memungkinkan adanya suatu patahan radikal, keberanian mengubah haluan kebijakan layak diapresiasi. Pencabutan subsidi BBM pada saat harga minyak dunia jatuh di titik nadir dan realokasi belanja ke sektor yang lebih produktif, terutama infrastruktur, merupakan dua terobosan penting.

Upaya mengatasi ketertinggalan di bidang infrastruktur diambil untuk menyediakan konektivitas sebagai prasyarat perekonomian yang efisien dan produktif. Sayangnya, pembalikan orientasi pembangunan ini belum ditopang kemampuan pembiayaan yang memadai. Amnesti pajak tak cukup ampuh merepatriasi dana dari luar negeri dan pajak yang diharapkan menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan masih jalan di tempat.

Tiga tahun APBN di bawah Presiden Jokowi, pencapaian penerimaan pajak memang kurang menggembirakan. Tentu saja hal ini harus dilihat secara obyektif, yakni pertumbuhan target pajak yang naik signifikan dan ketergantungan tradisional pada harga komoditas. Meski tingginya kenaikan target cukup masuk akal karenatax gap masih sangat lebar, mengungkit penerimaan secara drastis di tengah kelesuan perekonomian global dan domestik bukanlah hal yang mudah.

Kebutuhan akan insentif dan stimulus untuk menggerakkan perekonomian dan menjaga daya beli rumah tangga yang dihadapkan dengan tuntutan pencapaian target ambisius berpotensi mengontraksi perekonomian. Hal ini akibat terbatasnya pilihan-pilihan jangka pendek selain intensifikasi, yang pada akhirnya justru menciptakan ketidakadilan baru. Maka, penyediaan prasyarat-prasyarat yang memungkinkan otoritas pajak dapat memungut pajak secara efektif dan adil mutlak menjadi kebutuhan.

Keputusan Presiden Jokowi mengimplementasikan program amnesti pajak menjadi titik balik penting. Ada hawa segar yang memberikan kelonggaran napas pada perekonomian nasional. Program yang banyak diapresiasi sebagai yang paling sukses ini menangguk setidaknya Rp 4.865 triliun harta yang dideklarasikan dan Rp 135 triliun uang tebusan. Sayangnya, program ini hanya diikuti tak lebih dari satu juta wajib pajak dan hanya Rp 147 triliun dana yang berhasil direpatriasi. Amnesti pajak berhasil memupuk modal sosial yang penting, yaitu tumbuhnya semangat gotong royong dan sikap saling percaya antara pemerintah dan wajib pajak. Sayangnya, bulan madu pajak ini tak berlangsung lama.

Pemerintah masih terkesan gamang menapaki periode pasca amnesti sehingga menimbulkan persepsi justru yang telah ikut amnesti tak merasakan kelegaan dan yang belum patuh pajak, bahkan tak ikut program amnesti, tidak menjadi sasaran. Kebijakan yang tepat sasaran, terukur, dan memenuhi rasa keadilan publik perlu segera dirumuskan dengan baik.

Tantangan reformasi pajak

Reformasi pajak kini sedang berjalan dan jadi harapan. Proyek lama yang tak tuntas dan kerap terseok ini perlu dirancang secara komprehensif-menyentuh dimensi kebijakan, regulasi, dan administrasi sekaligus-agar sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian segera terwujud. Beberapa hal perlu dilakukan. Pertama, alih-alih sekadar melakukan tambal sulam aspek teknis-administratif, reformasi pajak pertama-tama adalah perubahan paradigma secara radikal.

Di dunia yang berubah sangat cepat ini, dibutuhkan cara berpikir yang lebih terbuka. Ini tecermin dari cara memperlakukan ekosistem perpajakan sebagai ruang perjumpaan yang kompleks, dinamis, egaliter, dan saling percaya (mutual trust). Prinsip "jangan potong ayamnya, tetapi ambil telurnya" harus betul-betul menjadi landasan pikir dan kerja. Contoh konkretnya adalah perlunya kehati-hatian dalam memajaki ekonomi digital.

Kedua, kebijakan yang berfokus pada upaya membangun kepatuhan melalui pemilahan wajib pajak berdasarkan tingkat risiko. Pemerintah perlu memberikan kelonggaran kepada mereka yang telah mengikuti amnesti pajak dan relatif sudah patuh seraya di saat bersamaan menyasar kelompok yang berada di luar sistem perpajakan dan secara sengaja menolak untuk patuh dan tak membayar pajak. Audit pajak dan instrumen penegakan hukum lain seyogianya diarahkan kepada kelompok tak patuh agar mendorong kepatuhan pajak secara efektif dan masif. Misalnya, tindak lanjut yang serius terhadap mereka yang "tak terjangkau dan tak tersentuh" di Panama Papers dan Paradise Papers dapat memenuhi dahaga publik akan keadilan.

Ketiga, merancang skema insentif dan stimulus yang berdampak nyata pada perekonomian nasional, terutama arus kas perusahaan dan daya beli masyarakat. Dalam jangka pendek, percepatan restitusi, perubahan aturan tentang wajib pungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk grup usaha BUMN, pemberian pengurangan angsuran pajak, pemeriksaan pajak yang fair dan obyektif, transparansi penyelesaian sengketa pajak, modifikasi struktur penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dengan perluasan allowance bagi rumah tangga, perluasan pembebasan temporer PPN terhadap barang yang dibutuhkan masyarakat, serta perbaikan struktur tarif dan administrasi perpajakan untuk UKM dan profesional.

Keempat, kaji ulang terhadap kebijakan dan aturan yang tumpang tindih serta cenderung menciptakan ketidakpastian dan hambatan. Termasuk di sini kesediaan mengerem hasrat untuk memajaki yang terlampau kuat. Otoritas pajak perlu duduk bersama dengan para pemangku kepentingan untuk mengurai kerumitan aturan perpajakan agar lebih berkepastian dan dapat diimplementasikan secara konsisten. Termasuk dalam hal ini adalah membangun sistem akuntabilitas dan integritas dalam pelaksanaan kebijakan pertukaran informasi keuangan otomatis.

Kelima, simplifikasi administrasi dan prosedur perpajakan. Administrasi perpajakan Indonesia belum sederhana. Tak sekadar otomasi dan pengembangan sistem berbasis teknologi informasi, penyederhanaan mencakup proses bisnis-daftar, setor, lapor, hapus-yang masih rumit agar lebih murah dan mudah dijalankan. Keenam, memperbaiki komunikasi publik dengan lebih berfokus pada tindakan simbolik yang terukur dan menjamin kepastian arah yang jelas. Letupan-letupan serta simpang siur kebijakan dan tindakan yang berpotensi menciptakan kegaduhan perlu dikurangi demi merawat persepsi dan menjaga kepercayaan publik.

Tentu saja keenam hal itu merupakanquick win untuk meraih kembali simpati demi terciptanya situasi yang kondusif. Agenda-agenda penting dan bersifat jangka menengah tetap harus disiapkan dan dikerjakan secara paralel. Di antaranya revisi UU Perpajakan, termasuk UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyimpan banyak lubang kelemahan, desain ulang arsitektur fiskal pusat-daerah, implementasi single identification number, persiapan transformasi kelembagaan menuju badan penerimaan perpajakan yang mandiri, pengembangan sistem administrasi berbasis teknologi informasi yang canggih, reformasi pengadilan pajak, dan kerja sama perpajakan internasional.

Kepercayaan publik yang tinggi terhadap Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus dimanfaatkan sebagai momentum membangun sistem perpajakan yang kredibel dan akuntabel. Di saat kita terengah-engah dan berjibaku memenuhi target APBN, apresiasi layak disampaikan kepada jajaran Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai yang berkomitmen mereformasi diri.

Kepemimpinan pajak

Moderasi target pajak sejak APBN Perubahan 2017 harus dilanjutkan demi membangun fondasi yang kokoh. Jangan sampai kerja keras membangun sistem yang baik jadi sia-sia tersapu badai ketakpercayaan publik. Perlu disiplin dan komitmen tinggi dari seluruh pejabat dan aparatur pajak. Otoritas pajak perlu terus ditantang untuk membuktikan bahwa mereka layak menjadi lembaga pemungut yang mandiri. Pimpinan perlu memastikan manajemen, kontrol, dan panduan yang efektif untuk menghindari tindakan yang berpotensi menggerus kepercayaan.

Pemahaman dan kepekaan terhadap situasi konkret perekonomian yang butuh kelonggaran dan kepastian di satu sisi dan penegakan hukum untuk memenuhi rasa keadilan publik perlu dijaga takarannya. Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani perlu memimpin langsung demi memastikan program reformasi perpajakan berjalan dengan baik. Tiga fungsi utama-harmonisasi,debottlenecking, dan breakthrough-harus berjalan efektif. Tugas dirigen adalah memastikan semua pemain mengikuti panduan agar tersaji alunan musik yang rancak nan merdu.

Kepemimpinan di semua lini harus dipastikan mengacu pada visi besar tunggal. Peringatan Aristides-Bapak Keadilan Pajak-tetap bergema nyaring: memungut pajak yang adil bukan sekadar bebas korupsi, melainkan harus membuat bahagia semua pihak. Dengan kata lain, pajak harus menjadi seni dan ikhtiar berkontribusi bagi kemajuan bangsa dengan cara- cara membahagiakan. Jangan sampai Minerva telanjur datang di rembang petang dan sesal kemudian tiada guna.

Yustinus Prastowo