Simposium tersebut tentu saja penting di tengah kecenderungan persatuan dan kesatuan yang seperti digoyang dari berbagai sisi. Dapat disebutkan bahwa goyangan itu senantiasa pula diwarnai primordialisme, khususnya berkaitan dengan agama dan suku (etnis). Tak jarang pula kedua sosok primordialisme itu saling mengisi untuk suatu kejadian.

Tanpa perlu menunjukkan secara rinci, hal tersebut hampir dapat dicontohkan pada pemilihan kepala daerah gubernur Jakarta, awal 2017. Ihwal agama dan suku diaduk untuk keperluan tertentu. Hal ini kemudian diperlebar sehingga diduga menghasilkan pola politik Indonesia dalam Pemilu 2019, yang tidak hanya memilih anggota legislatif, tetapi juga presiden.

Hampir dapat dipastikan, masih terkendalinya goyangan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa—terutama yang coba dipicu dari sisi kesukuan—disebabkan masih hidupnya potensi persatuan dan kesatuan bangsa dalam setiap suku. Suara perwakilan-perwakilan suku—mulai dari Aceh sampai Nusa Tenggara Timur—yang mengemuka dalam simposium ini masih memperlihatkan potensi tersebut sebagai bagian yang belum terpisahkan dari kehidupan terkini.

Pada suku Melayu, misalnya, hakikat persatuan itu mendapat label khusus, yakni sebagai inti kepribadian sebagaimana diungkapkan oleh Tenas Effendy dalam kitab Tunjuk Ajar Melayu(1994 dan 2015). Dengan demikian, sikap persatuan dipandang sebagai sesuatu yang naluriah sehingga untuk mewujudkannya tidak memandang suku ataupun bangsa. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Melayu senantiasa terbuka kepada suku lainnya.

Tunjuk Ajar Melayu itu juga mencantumkan dasar persatuan dengan tindakan kerja sama tersebut. Ternyata, hal ini merupakan salah satu cara Melayu untuk menjalankan ajaran Islam, misalnya dengan keyakinan bahwa semua manusia di dunia ini adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Dalam ungkapan adat disebutkan: ketuku batang ketakal/ duanya batang keladi muyang/ kita sesuku dengan seasal/kita senenek serta semoyang.

Hal itu senapas dengan yang ditulis Ramlan Surbakti (2013: 57). Menurut dia, persepsi yang sama tentang asal-usul dan sejarah tidak hanya melahirkan solidaritas, tetapi juga tekad dan tujuan yang sama antarkelompok. Solidaritas, tekad, dan tujuan yang sama itu menjadi identitas yang menyatukan mereka sebagai bangsa, membentuk konsep ke-"kita"-an dalam masyarakat.

Kesejagatan

Memang, potensi persatuan berbangsa pada suku-suku itu pula yang jadi tapak berdirinya Republik Indonesia. Bukankah Sumpah Pemuda 1928 tak lain sebagai penggumpalan sikap serupa dari para pemuda atas nama suku ataupun tempat tertentu yang saling mengidentifikasi? Jong Java, Jong Selebes, Jong Ambon, dan Jong Sumatera, misalnya, menunjukkan keberadaan penggumpalan suku dalam wadah yang bernama Indonesia.

Hanya kemudian, di tengah kesibukan pembangunan, kesukuan itu terlupakan. Keseragaman menjadi kata kunci untuk persatuan dan kesatuan. Di sisi lain, eksistensi suku coba digulung di bawah kecemasan yang menunjukkan justru suku dapat memecahkan persatuan. Bersamaan dengan hal itu, Indonesia juga harus berdampingan dengan negara-negara lain dalam pergaulan kesejagatan atau global.

Sampailah kenyataannya pada abad ke-21 ini, pergaulan sejagat  cenderung berusaha menemukan identitas sebagaimana dikaji futuristik seperti  John Naisbitt dan Patricia Aburdene melalui bukuMegatrends 2000. Identitas hanya dapat ditemukan dalam tradisi dan agama, sedangkan sektor lain, seperti politik dan ekonomi, telah bias. Kehidupan agama jadi subur dan kesukuan menjadi sesuatu yang dicari lagi.

Tak mengherankan, misalnya, apabila orang terlihat makin religius yang selalu diwujudkan dalam simbol-simbol agama. Terlepas dari tingkat keimanan, pengalaman—misalnya—menunjukkan, amat jarang ditemui perempuan dewasa berjilbab di Pekanbaru pada awal 1980-an, tetapi sekarang tidak demikian. Sementara otonomi daerah dalam era Reformasi memungkinkan kesukuan ditampilkan, apalagi bagi suku yang mengaitkan eksistensinya dengan agama.

Sebagaimana lazim terjadi, sesuatu yang baru disambut dengan sensitivitas tinggi untuk tidak mengatakannya euforia. Oleh karena setiap suku pada kondisi sensitivitas serupa, sudah jelas keadaan tersebut dapat "diolah" dengan maksud-maksud pragmatis. Sifat elite, apalagi dalam konteks politik, akan selalu memanfaatkannya untuk kepentingan suatu kelompok.

Keadaan ini ditambah kenyataan perkembangan teknologi komunikasi secara luar biasa, padahal budaya ditentukan oleh bagaimana situasi komunikasi terjadi. Tingkat sumber daya masyarakat Indonesia yang belum menggembirakan, misalnya, terlihat melalui minat baca 1:1.000, disuguhkan dengan perkembangan kemanusiaan lain di luar alamnya secara bertubi-tubi. Apalagi sarana komunikasi itu belum lagi menjadi fasilitas pendidikan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan tidak berpihak pada pencerdasan.

Tentu tidak ada kata terlambat. Di antara cara yang bisa dilakukan terutama oleh pemerintah adalah bagaimana kembali mewadahi suku sebagai khazanah bangsa, meletakkannya pada latar depan. Hal ini sebenarnya tercantum dalam Trisakti pembangunan yang dicanangkan pimpinan nasional yang dipegang Joko Widodo-Jusuf Kalla, khususnya berkaitan dengan landasan pembangunan yang beridentitas  tempatan. Tinggal mengelaborasinya lagi, kan?