Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan dari 10,70 persen pada Maret 2017 menjadi 10,12 persen pada September 2017. Bagong Suyanto dalam artikelnya, "Penurunan (Semu) Kemiskinan" (Kompas, 5/1), menilai penurunan kemiskinan tersebut merupakan keberhasilan semu. Hal ini disebabkan batasan kemiskinan yang dihitung BPS dinilai terlalu rendah sehingga jumlah penduduk miskin yang sebenarnya bisa lebih besar.

Dalam menghitung angka kemiskinan, BPS menggunakan konsep dan metode standar yang digunakan banyak negara di dunia. BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran.

Penduduk miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan 2.100 kalori per kapita per hari. Garis kemiskinan bukan makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Penggunaan pendekatan pengeluaran dengan kebutuhan dasar kalori dan kebutuhan dasar nonmakanan sudah lama diadopsi oleh banyak negara. Pengukuhan yang lebih kuat penggunaan metode ini didasarkan rekomendasi PBB setelah pertemuan yang diprakarsai oleh FAO dan WHO dalam Human Energy Requirement: Expert Consultation, yang dilaksanakan di Roma, Italia, tahun 2001 dan 2005.

Berdasarkan penghitungan BPS, garis kemiskinan Indonesia pada September 2017 sebesar Rp 387.160. Artinya, penduduk Indonesia dengan pengeluaran per bulan di bawah Rp 387.160 tergolong penduduk miskin. Garis kemiskinan ini nilainya bervariasi untuk setiap daerah di Indonesia. Garis kemiskinan tertinggi terdapat di Bangka Belitung dengan nilai Rp 607.927 dan paling rendah di Sulawesi Selatan dengan nilai Rp 294.358.

Tak tepat pembanding

Mengakhiri segala bentuk kemiskinan merupakan tujuan pertama dari Program Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Program tersebut merupakan kelanjutan dariMillennium Development Goals (MDGs) yang telah berakhir pada 2015. Untuk mengevaluasi program internasional tersebut, tentu dibutuhkan alat ukur yang seragam di seluruh dunia agar bisa dibandingkan antarwaktu dan antarnegara.

Oleh karena itu, berdasarkan penghitungan oleh Bank Dunia, ditetapkan garis kemiskinan internasional sebesar 1,9 dollar AS PPP (purchasing power parity/paritas daya beli) per kapita per hari. Artinya, yang dianggap miskin di dunia adalah yang memiliki pengeluaran kurang dari 1,9 dollar AS PPP per hari.

Angka paritas daya beli menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa seharga 1 dollar di AS. Dengan demikian, konversi garis kemiskinan menurut Bank Dunia sebesar 1,9 dollar AS per kapita per hari bukan dinilai dengan kurs rupiah saat ini. Sebagai contoh, pada 2012 nilai 1 dollar AS PPP ekuivalen dengan Rp 5.704,67 di Indonesia, padahal pada tahun tersebut rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp 9.384 per dollar AS.

Apabila menggunakan batasan Bank Dunia, justru persentase penduduk miskin di Indonesia jadi lebih sedikit. Tidak ada yang salah dengan kedua data tersebut karena tujuan penggunaan datanya berbeda.

Bagi pemerintah, tentu angka kemiskinan yang dihitung oleh BPS lebih menggambarkan kondisi Indonesia secara riil. BPS telah melakukan penghitungan garis kemiskinan dengan metode yang sama sejak 1984 sehingga angkanya dapat dibandingkan antarwaktu sebagai bahan evaluasi pembangunan.

Demikian juga kurang tepat jika menyandingkan garis kemiskinan dengan upah minimum regional (UMR). Hal ini karena UMR dihitung berdasarkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi pekerja lajang. Komponen tersebut tidak hanya meliputi sandang, pangan, dan papan yang layak, tetapi juga mencakup kebutuhan komunikasi, hiburan/rekreasi, bahkan tabungan. Tentu saja komponen itu melebihi kebutuhan dasar untuk hidup pada penghitungan garis kemiskinan.

Faktor penyebab

Tingkat kemiskinan yang masih bertengger di sekitar angka 10 persen dalam tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan di Indonesia tidak mudah. Persentase jumlah penduduk miskin sebesar 10 persen memang dikenal sebagai batas kemiskinan kronis. Kemiskinan kronis memiliki ciri utama derajat kapabilitas yang rendah pada tingkat pendidikan dan kesehatan. Hal ini mengakibatkan program pengentasan rakyat miskin yang bersifat pemberdayaan tidak akan berpengaruh banyak dalam mendorong mereka keluar dari kemiskinan.

Meski pertumbuhan ekonomi yang terjadi mampu meningkatkan partisipasi kerja, kesempatan kerja yang tersedia belum menciptakan pekerjaan yang layak dan memihak orang miskin. Karena itu, pertumbuhan ekonomi harus difokuskan pada sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dan jadi tumpuan hidup bagi masyarakat miskin, seperti sektor yang bisa diperdagangkan.

Sektor ini terdiri atas sektor primer, seperti pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, dan penggalian serta industri pengolahan. Pada periode 2010-2016, sektor ini memiliki pertumbuhan ekonomi selalu di bawah rata-rata. Hal ini mengakibatkan distribusi hasil pembangunan yang kurang menguntungkan bagi 46,27 persen penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.

Demikian juga dengan pembangunan infrastruktur. Meski berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, ia belum signifikan dalam menyediakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan. Karena itu, pemerataan infrastruktur yang selama ini digalakkan pemerintah harus mengutamakan daerah pinggiran dan pedesaan mengingat kemiskinan lebih banyak terjadi di pedesaan. Program padat karya tunai dengan pemanfaatan dana desa bisa menjadi pendorong dalam mengurangi kemiskinan, terutama di pedesaan.