Pembahasan Rancangan Undang-Undang Terorisme telah berlangsung dua tahun lebih terhitung sejak pemerintah berinisiatif merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan disampaikan kepada DPR.

Inisiatif muncul sesudah bom Thamrin, 14 Januari 2016. Sejak saat itu muncul wacana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme yang lebih luas daripada perbantuan kepada Polri. Usul pelibatan TNI kembali ditegaskan dalam surat Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto kepada Panitia Khusus Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, 8 Januari 2018.

Secara singkat Panglima mengusulkan, antara lain, perubahan judul RUU dari "Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme" menjadi "Penanggulangan Aksi Terorisme", serta definisi terorisme yang menyasar ancaman kepada ideologi dan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, keamanan negara, dan keselamatan segenap bangsa. TNI juga mengusulkan perannya dalam pencegahan terorisme melalui koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). 

Sebelumnya dalam rapat dengan Pansus RUU Terorisme, Juni 2016, Panglima TNI (saat itu) Jenderal Gatot Nurmantyo menyampaikan usulan pelibatan TNI dalam tujuh macam aksi, yakni aksi terorisme terhadap presiden/wapres dan keluarga, WNI di luar negeri, kedubes atau perwakilan RI di luar negeri, kedubes atau perwakilan negara sahabat di Indonesia, kapal dan pesawat terbang Indonesia, kapal dan pesawat terbang negara sahabat di wilayah Indonesia, serta aksi terorisme yang bereskalasi luas dan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.

Hal yang menarik bukan sekadar substansi usulan TNI, melainkan juga penyampaian usulan TNI kepada DPR, pada Juni 2016 dan Januari 2018, yang menunjukkan belum ada kesepahaman di antara kementerian/lembaga pemerintah dalam menghadapi terorisme.

Ketidaksepahaman tersebut tampaknya tidak terselesaikan sehingga terjadi komunikasi langsung dengan DPR.

Sikap institusi dan pejabat pemerintah seharusnya seragam sejak RUU diajukan dua tahun lalu kepada DPR sebagai konsekuensi Pasal 20 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Andaikata ada perubahan konsepsi di tengah pembahasan, kementerian/lembaga harus menyatukan dulu pendapatnya, lalu menyampaikannya sebagai sikap presiden kepada DPR.

Pada hakikatnya pemimpin kementerian/lembaga adalah duta dan penyambung lidah presiden kepada DPR. Begitu pula fraksi-fraksi harus membahas dan menyatukan sikap dulu untuk kemudian membahas sikap DPR bersama pemerintah.

Reformasi sektor keamanan

Ketidaksepakatan dalam mengatasi terorisme disebabkan oleh belum tuntasnya reformasi sektor keamanan nasional. Pembagian tugas serta wewenang Polri dan TNI dalam menghadapi ancaman bersenjata, seperti terorisme dan separatisme, belum tertata sesuai perubahan lingkungan strategis di tingkat global dan regional.

Regulasi yang ada, misalnya UU Pertahanan Negara, UU TNI, UU Polri, dan UU Terorisme, juga belum mengantisipasi peningkatan kompleksitas ancaman keamanan karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Adapun urusan penegakan hukum justru bukan masalah krusial dalam pembahasan RUU Terorisme, dan tak pernah dipersoalkan Kemhan dan TNI.  

Selain itu, masih ada paradigma pemisahan wilayah pertahanan dan ancaman eksternal sebagai wilayah tanggung jawab TNI, sedangkan keamanan dalam negeri dan gangguan internal sebagai wilayah Polri. Padahal, teknologi membuat dunia siber dapat menisbikan urusan internal dan eksternal suatu negara.

Oleh karena itu, dunia siber dapat menjadi wilayah kompetisi dan kerja sama bidang keamanan dan pertahanan sekaligus, selain bidang politik, ekonomi, dan lain-lain. Selain teknologi informasi, globalisasi keuangan, arus barang dan jasa, serta investasi juga menisbikan batas internal dan eksternal negara, sekaligus batas pertahanan dan keamanan.

Internet telah menjadi bagian kehidupan manusia, bukan sekadar sarana komunikasi dan berbagi informasi. Konsekuensinya, internet dapat memperlancar urusan, mulai dari tugas polisi, intelijen, dan militer dalam mencegah serangan terorisme, hingga pemantauan situasi rumah secara daring oleh warga masyarakat.

Kelompok terorisme dapat merancang serangan dari luar negeri, mendidik pelaku serangan tunggal (lone-wolf terrorist) untuk meracik bahan peledak, atau menggelar propaganda memecah belah bangsa melalui jaringan komputer lintas negara, benua, dan samudra tersebut.

Dari tempat yang jauh secara bersamaan, infrastruktur sistem pendukung pengambilan keputusan (decision support system) pemerintah dan militer, kelistrikan, pembayaran dan sebagainya, juga dapat diserang untuk menimbulkan kerusakan atau menjadi cara bernegosiasi. Bahkan, proses pemilu di negara secanggih AS pun dapat dipengaruhi oleh negara dan aktor bukan negara asing melalui dunia siber.

Perubahan konteks strategis ini melahirkan ancaman perang hibrida. Jenis ancaman ini lebih kompleks daripada yang secara implisit didefinisikan dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia (2015) sebagai campuran dari ancaman militer dan nonmiliter. Menurut Hoffman (2007), ancaman perang hibrida menggabungkan kapabilitas militer konvensional, taktik dan formasi bukan reguler, aksi terorisme, dan kriminalitas. Kapasitas dunia siber membuat ancaman hibrida kian kompleks.  

 Model ancaman hibrida harus diantisipasi oleh RUU Terorisme dan regulasi hankam lainnya. Karena ancaman keamanan sudah bercampur aduk bentuk dan sumbernya, pencegahan dan pemberantasannya juga harus dilakukan dengan kolaborasi antarkementerian dan lembaga mulai dari level strategis hingga operasional dan taktis. Adapun penegakan hukum tetap di tangan polisi, jaksa, dan peradilan.