Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 28 Februari 2018

TAJUK RENCANA: Alarm dari Pilkada Garut (Kompas)

Suap Pilkada Garut - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan (kanan) didampingi anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar (kiri) menanggapi penangkapan Ketua Panwaslu Kabupaten Garut Heri Hasan Basri bersama bersama Komisioner KPU Kabupaten Garut Ade Sudrajad Garut terkait Pilkada 2018 di Kantor Bawaslu, Jakarta, Minggu (25/2). Heri dan Ade ditangkap tangan oleh kepolisian lantaran diduga menerima suap untuk meloloskan salah satu pasangan calon bupati dan wakil bupati Garut.
WAWAN H PRABOWO

Suap Pilkada Garut – Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan (kanan) didampingi anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar (kiri) menanggapi penangkapan Ketua Panwaslu Kabupaten Garut Heri Hasan Basri bersama bersama Komisioner KPU Kabupaten Garut Ade Sudrajad Garut terkait Pilkada 2018 di Kantor Bawaslu, Jakarta, Minggu (25/2). Heri dan Ade ditangkap tangan oleh kepolisian lantaran diduga menerima suap untuk meloloskan salah satu pasangan calon bupati dan wakil bupati Garut.

Penangkapan komisioner KPU dan Ketua Panwaslu Garut adalah skandal besar dalam praktik demokrasi. Alarm telah berbunyi bahwa politik uang adalah nyata.

Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal Agung Budi Maryoto (dua dari kiri) menunjukkan barang bukti slip transfer antar bank terkait kasus dugaan suap dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Garut 2018 di Bandung, Senin (26/2). Penyidik akan memeriksa bakal pasangan calon Soni Sondani-Usep Nurdin dari jalur perseorangan, yang tim pemenangannya, Didin Wahyudin telah ditetapkan sebagai tersangka.
SAMUEL OKTORA

Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal Agung Budi Maryoto (dua dari kiri) menunjukkan barang bukti slip transfer antar bank terkait kasus dugaan suap dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Garut 2018 di Bandung, Senin (26/2). Penyidik akan memeriksa bakal pasangan calon Soni Sondani-Usep Nurdin dari jalur perseorangan, yang tim pemenangannya, Didin Wahyudin telah ditetapkan sebagai tersangka.

Komisioner KPU Garut, Ade Sudrajat, dan Ketua Panwaslu Garut Heru Hasan Basri ditangkap polisi atas dugaan menerima suap dari seseorang berinisial D terkait penetapan calon kepala daerah dalam Pilkada Garut. Dari hasil pemeriksaan, D telah memberikan satu mobil Daihatsu Sigra untuk Ade Sudrajat dan mentransfer uang Rp 10 juta untuk Heru Hasan Basri. Belum diketahui untuk kepentingan pasangan mana D menjalankan perannya.

Kita katakan ini skandal besar dalam demokrasi karena pelaksana dan pengawas sama-sama bersekongkol untuk kepentingan peserta pilkada. Pengawas yang seharusnya mengawasi jalannya pelaksanaan pilkada justru ikut menjual perannya demi untuk kepentingan finansial. Situasi ini menunjukkan bahwa uang bisa membeli segalanya, termasuk persyaratan untuk ikut dalam proses pilkada. Jika gejala ini terus membesar, inilah ancaman terhadap demokrasi.

Peristiwa ini bisa menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap pelaksanaan pemilu, khususnya pada pelaksana dan pengawas pemilu. Ketika ketidakpercayaan muncul, maka kualitas pilkada bisa diragukan. Itulah yang tidak kita inginkan. Karena itulah langkah cepat Ketua KPU Arief Budiman dan Ketua Bawaslu Abhan untuk memberhentikan sementara keduanya haruslah didukung. Bahkan, perlu ada langkah lebih keras lagi dengan memecat mereka secara tidak hormat. Fakta hukumnya, mereka sudah ditahan polisi.

Pengungkapan tuntas juga perlu dilakukan dengan menginvestigasi D yang patut diduga sebagai perantara. Polisi harus memeriksa untuk kepentingan pasangan calon siapa D bekerja. Jika memang D bekerja untuk pasangan calon tertentu dan terbukti ada proses suap, pasangan calon tersebut juga patut diteliti lebih jauh dan berdampak pada pencalonannya.

Proses investigasi terbuka baik oleh KPU maupun Bawaslu perlu dilakukan dan hasilnya segera diumumkan kepada masyarakat tanpa harus mengganggu penyidikan yang dilakukan polisi. Hasil investigasi harus diumumkan secara terbuka, selain untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, juga untuk meningkatkan kembali tingkat kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu.

Pimpinan KPU dan Bawaslu harus menyadari bahwa ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu bisa ikut memengaruhi kualitas pemilu itu sendiri. Pada akhirnya situasi itu juga akan berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat pada hasil pemilu.

Kita juga mau mendorong para elite politik, peserta pilkada ataupun tim suksesnya, untuk tidak melakukan segala cara guna memenangi kontestasi. Kemenangan yang diraih dengan segala cara, termasuk dengan cara membeli partai politik, membeli penyelenggara dan pengawas pemilu, serta membeli suara rakyat hanya akan melahirkan korupsi. Cara-cara itu secara perlahan akan mematikan demokrasi dan mematikan suara rakyat serta digantikan dengan kemenangan kaum pemodal

Kompas, 27 Februari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Etika dan Hukum (DESPAN HERYANSYAH)

Akhir-akhir ini orang kembali membicarakan hubungan antara etika dan hukum. Hal ini setidaknya disebabkan dua hal. Pertama,maraknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh pejabat negara, khususnya terkait Ketua Mahkamah Konstitusi yang mendapat sorotan dari banyak ahli hukum akibat pelanggaran etiknya. Kedua,munculnya revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang dinilai mencampuradukkan antara hukum dan etika.

Secara teoretis ataupun filosofis, etika dan hukum (dalam pendekatan nonpositivis) adalah dua entitas yang sangat berkaitan, tetapi berbeda dalam penegakannya. Etika adalah ladang tempat hukum ditemukan dan hukum sendiri merupakan pengejawantahan hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan.

Dalam filsafat hukum, kita mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang. Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. Implikasinya, pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum (baca: undang-undang).

Saya dan hampir semua orang di negeri ini sangat geram saat melihat seseorang yang sudah jelas dan nyata bersalah, tetapi harus dibebaskan begitu saja karena prosedural formal hukum yang tidak memadai. Atau bahkan karena ketakmampuan peradilan menyentuh orang-orang yang memiliki power, dalam bentuk kuasa ataupun uang. Berulang kali kita harus menyaksikan politikus-politikus korup yang melenggang bebas dari jeratan hukum, bahkan semakin kokoh di puncak karier politiknya, padahal jelas dan nyata sekali melakukan pelanggaran etik dan hukum yang tidak sepele.

Kepemimpinan di semua lapisan cenderung hanya berorientasi populer (pop-leaders) sebagai akibat budaya politik yang baru tumbuh dalam  tradisi demokrasi yang tertatih-tatih. Lalu ia menyebabkan timbulnya gejala keterpisahan: antara kesadaran pusat kekuasaan yang mengklaim popularitas dukungan rakyat dengan kesadaran kelas menengah yang memengaruhi pembentukan wacana publik dan membentuk day-today-politics; serta antara retorika politik yang tecermin di media massa yang dijadikan ukuran popularitas dan tindakan nyata yang memengaruhi dinamika kehidupan dalam  masyarakat.

Tokoh-tokoh dalam infrastruktur masyarakat tanpa disadari didorong pula oleh keadaan untuk terlibat dan melibatkan diri dalam agenda-agenda politik nasional sehingga fungsi pembinaan masyarakat terbengkalai. Masyarakat bebas semakin berkembang tak terkendali. Akibatnya, nilai-nilai lama telah ditinggalkan, sementara nilai baru belum terbentuk. Hal ini yang juga kemudian menjadikan perilaku masyarakat terseret dalam ekspresi ekstrem dalam spektrum yang meluas, mulai dari kutub konservatisme sampai ke liberalisme yang paling utopis dan ekstrem.

Pelanggaran etik dan penegakan etik

Di negara yang demokrasi dan hukumnya telah menyatu dengan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, pelanggaran etik biasanya memiliki implikasi setara dengan pelanggaran hukum. Banyak pejabat negara di negeri-negeri itu yang memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena terbukti atau bahkan baru diduga melakukan pelanggaran etik. Hal ini harus kita lihat sebagai penghormatan mereka terhadap martabat kemanusiaannya yang dihargai tidak lebih rendah daripada jabatan semata.

Namun, konteks ini belum terjadi di Indonesia. Seorang pejabat negara hanya akan meninggalkan jabatannya jika menurut UU/peraturan dia harus diberhentikan. Tidak berpengaruh pada seberat apa pun pelanggaran etik yang dia lakukan atau seberapa banyak ia melakukan pelanggaran etik, jika dalam aturan tidak secara jelas menyatakan dia harus diberhentikan, selamanya dia tidak akan berhenti.

Sekali lagi, kasus yang paling aktual untuk dijadikan contoh adalah yang menimpa Ketua MK, AH. Meskipun telah berkali-kali melakukan pelanggaran etik yang secara substansial sangat berat, ia tetap memilih mempertahankan jabatannya daripada derajat kemanusiaannya.

Fenomena lain yang cukup menggelitik adalah ulah DPR dan pemerintah yang menyetujui bersama revisi atas UU MD3. Substansi UU ini dinilai kacau dari banyak hal. Relevansinya dengan tulisan ini adalah karena dalam UU tersebut Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sejatinya adalah lembaga etik, tetapi diberi kewenangan mencampuri masalah hukum.

Hal ini dapat dilihat dari dua hal. Pertama, ketentuan dalam Pasal 245 yang memberikan kewenangan kepada MKD untuk mengeluarkan pertimbangan kepada presiden atas pemanggilan anggota DPR yang terjerat kasus hukum. Kedua, dalam Pasal 122 yang memberikan kewenangan kepada MKD untuk mengambil tindakan hukum terhadap siapa saja yang merendahkan derajat DPR dan anggota DPR.

Ketentuan ini telah mencampuradukkan penegakan hukum dan penegakan etik secara keliru. Padahal, meski keduanya saling berkaitan, cara penegakannya tidaklah sama. Sebab, penegakan hukum sepenuhnya merupakan kewenangan aparat penegak hukum dalam kekuasaan yudikatif.

Despan Heryansyah Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII

Kompas, 27 Februari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Sengketa Perpajakan (FERDY A SIHOTANG)

Seiring dengan semakin tingginya target pajak dalam APBN 2018, Direktorat Jenderal Pajak diyakini akan mengintensifkan pemungutan dan penegakan hukum di bidang perpajakan.

Apalagi setelah selesainya pelaksanaan amnesti (tax amnesty) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, pemerintah telah menerbitkan PP No 36/2017 tanggal 6 September 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Tertentu berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan.

Yang menjadi sasaran dari pelaksanaan PP No 36/2017 tersebut adalah para wajib pajak (WP) yang telah mengikuti program pengampunan pajak atau yang belum mengikuti dan belum atau kurang melapor semua harta bersih. Untuk melengkapi regulasi dalam pemungutan pajak pasca- amnesti tersebut juga telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/PMK.03/2017 tanggal 17 November 2017 tentang Pelaksanaan UU No 11/2016 tentang Pengampunan Pajak.

Pokok-pokok dalam regulasi-regulasi terkait pengampunan pajak tersebut di atas mengatur mengenai bagaimana
perlakuan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap WP, baik yang sudah mengikuti program pengampunan pajak maupun yang belum, jika DJP menemukan harta bersih (harta dikurangi utang) yang tidak atau kurang dilaporkan. Terhadap WP yang sudah mengikuti pengampunan pajak kemudian DJP menemukan harta bersih yang belum atau kurang diungkap dalam surat pernyataan, maka harta tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan yang akan ditagih dengan surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB).

Tambahan penghasilan tersebut selanjutnya akan dikenai Pajak Penghasilan final dengan tarif sesuai dengan Pasal 4 PP Nomor 36 Tahun 2017 ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan 200 persen sesuai dengan ketentuan UU Pengampunan Pajak. Sementara terhadap WP yang tidak mengikuti program pengampunan pajak, jika DJP menemukan harta bersih yang belum dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh maka tambahan harta tersebut akan ditagih dengan SKPKB dengan mengenakan tarif Pajak Penghasilan final sesuai dengan Pasal 4 PP No 36/2017 ditambah sanksi administrasi berupa bunga 2 persen sebulan paling lama 24 bulan sesuai UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Sengketa pajak amnesti pajak

Apabila atas SKPKB tersebut WP menyatakan tidak setuju/keberatan, maka akan timbul sengketa pajak. Seandainya sengketa pajak tersebut berlanjut sampai ke pengadilan, maka upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh WP? Menurut Pasal 19 UU Pengampunan Pajak, "Segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak hanya dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan, dan gugatan tersebut hanya dapat diajukan ke badan peradilan pajak."

Lebih lanjut di dalam Pasal 46 Ayat 3 PMK No 165/2017 disebutkan, penyelesaian sengketa atas penerbitan SKPKB terkait UU Pengampunan Pajak tersebut dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Ini berarti terhadap sengketa pajak atas penerbitan SKPKB dalam rangka pelaksanaan UU Pengampunan Pajak, upaya hukumnya adalah melalui pengajuan gugatan ke Pengadilan Pajak.

Sementara menurut hukum acara di Pengadilan Pajak (Pasal 31 UU No 14/2002 tentang Pengadilan Pajak) dikenal ada dua jalur penyelesaian sengketa, yaitu melalui banding atau gugatan. Proses pengajuan banding dan gugatan ke Pengadilan Pajak mengikuti ketentuan yang ada dalam UU No 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 16/2009 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Apabila WP tidak setuju atas isi/materi surat ketetapan pajak seperti ketidaksetujuan terhadap besarnya jumlah pajak, maka WP dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak (Pasal 25 dan 26 UU KUP) dan jika surat keberatannya ditolak serta DJP menerbitkan keputusan penolakan, maka keputusan tersebut menjadi dasar pengajuan banding ke Pengadilan Pajak (Pasal 27 UU KUP).

Sementara yang merupakan obyek gugatan diatur dalam Pasal 23 Ayat 2 UU KUP, yaitu: (a) atas pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan atau pengumuman lelang; (b) keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; (c) keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat 1 dan Pasal 26; atau (d) penerbitan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dengan demikian, baik menurut UU Pengadilan Pajak maupun UU KUP, jika sengketa pajak terkait dengan isi/materi SKPKB, setelah adanya keputusan penolakan keberatan dari DJP, maka upaya hukumnya adalah banding, bukan melalui gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UU Pengampunan Pajak. 

Perbaikan regulasi  

Guna mengatasi problematika hukum dalam penyelesaian sengketa pajak terkait pelaksanaan aturan pengampunan pajak tersebut di atas, diperlukan adanya perbaikan terhadap aturan-aturan yang terkait. Langkah yang paling baik adalah melakukan revisi terhadap  ketentuan Pasal 19 UU Pengampunan Pajak. 

Susunan redaksional Pasal 19 Ayat 1 UU Pengampunan Pajak   sebaiknya diubah menjadi, "Segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang ini dapat diselesaikan melalui pengajuan Banding atau Gugatan sesuai ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan". Dengan demikian, ketentuan tersebut akan sejalan dengan UU Pengadilan Pajak dan UU KUP.

Sepanjang sengketa pajak terkait dengan isi/materi surat ketetapan pajak, maka upaya hukumnya melalui banding, sedangkan jika yang jadi sengketa adalah prosedur penerbitan atau aspek pemenuhan ketentuan formal penerbitan surat ketetapan pajak, maka upaya hukumnya dilakukan melalui pengajuan gugatan.

Namun, jika UU Pengampunan Pajak tidak dikehendaki untuk direvisi, yang berarti penyelesaian sengketa atas pelaksanaan UU Pengampunan Pajak tetap melalui jalur gugatan sesuai Pasal 19 UU Pengampunan Pajak, maka apakah hal itu dimungkinkan? Satu-satunya peluang untuk dapat mengajukan gugatan atas terbitnya suatu surat ketetapan pajak dan selama ini memang dalam praktiknya banyak ditempuh oleh WP adalah melalui Pasal 36 Ayat 1 Huruf b UU KUP.

Banyak WP lebih memilih menggunakan ketentuan Pasal 36 Ayat 1 b UU KUP daripada proses keberatan sesuai Pasal
25 UU KUP karena batas waktu penyelesaian permohonannya lebih cepat, yaitu ditentukan paling lama enam bulan. Sementara jika menggunakan mekanisme pengajuan keberatan, batas waktu penyelesaiannya lebih lama, yaitu paling lama 12 bulan.

Ketentuan Pasal 36 Ayat 1 Huruf b UU KUP berbunyi, "Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar."

Pasal 36 Ayat 1 Huruf b  UU KUP ini dapat menjadi "jalan" menuju Pasal 23 Ayat 2 UU KUP yang merupakan "pintu masuk" pengajuan gugatan  ke Pengadilan Pajak. Apabila atas suatu SKPKB, WP tidak mengajukan keberatan sesuai Pasal 25 UU KUP tetapi memilih mengajukan permohonan pembatalan SKPKB melalui Pasal 36 Ayat 1 b UU KUP, maka jika permohonannya ditolak, keputusan penolakan tersebut menjadi dasar pengajuan gugatan ke Pengadilan Pajak.

Dasar ketentuannya adalah Pasal 23 Ayat 2 Huruf C UU KUP yang berbunyi, "Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat 1 dan Pasal 26, hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak".

Namun, ketentuan Pasal 36 Ayat 1 b UU KUP ini dalam praktiknya sering diperdebatkan karena dianggap "tumpang tindih" dengan mekanisme pembatalan surat ketetapan pajak melalui pengajuan keberatan sesuai Pasal 25 dan Pasal 26 UU KUP. UU KUP tidak memberikan kriteria dan batasan yang jelas dalam hal apa pembatalan suatu surat ketetapan pajak diajukan melalui pasal ini dan apa perbedaannya dengan mekanisme pengajuan keberatan atas surat ketetapan pajak yang diatur dalam Pasal 25 UU KUP.

Di dalam penjelasan Pasal 36 Ayat 1 Huruf b UU KUP antara lain berbunyi, "Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi."

Sebenarnya isi penjelasan pasal sedemikian hanya menyebutkan suatu contoh dalam hal apa ketentuan Pasal 36 Ayat 1 b dapat digunakan, yaitu digunakan jika WP tidak dapat menempuh prosedur keberatan sesuai Pasal 25 UU KUP karena terdapat persoalan formal pengajuan keberatan yang  tidak dapat dipenuhi oleh WP, sementara secara material/substansi sebenarnya WP sudah benar sehingga memang surat ketetapan pajak itu tak benar. Untuk itu, dengan alasan keadilan, Dirjen Pajak dengan kewenangannya dapat membatalkan surat ketetapan pajak.

 Memori penjelasan pasal tersebut sebenarnya hanya merujuk pada suatu contoh saja dan tidak menyebutkan suatu norma hukum tertentu tentang kriteria dan persyaratan pengajuan permohonan secara jelas. Dalam praktiknya kemudian pasal tersebut ditafsirkan secara meluas menjadi segala sesuatu yang menyangkut aspek formal atau prosedur penetapan/penerbitan surat ketetapan pajak yang dianggap tidak sesuai dengan aturan perpajakan yang berlaku, maka upaya hukumnya ditempuh melalui Pasal 36 Ayat 1 b UU KUP.

Selain itu, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa penggunaan Pasal 36 UU KUP merupakan wewenang penuh Dirjen Pajak, di mana WP  dapat memohon pembatalan surat ketetapan pajak dengan mengharapkan  "kemurahan dan kebaikan hati" (clemency) Dirjen Pajak. Padahal, dalam kondisi saat ini kecil kemungkinan Dirjen Pajak bersedia membatalkan suatu surat ketetapan pajak tanpa adanya alasan-alasan  yuridis yang cukup, sekalipun dengan alasan keadilan.

Mengingat saat ini sedang berlangsung pembahasan  revisi UU KUP, sebaiknya ketentuan Pasal 36 Ayat 1 b UU KUP ini perlu direvitalisasi agar jelas kriteria dan ruang lingkupnya sehingga menjadi jelas pula perbedaannya dengan mekanisme keberatan yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 UU KUP. Dalam konteks pelaksanaan UU Pengampunan Pajak, perlu pula dipertimbangkan dalam revisi UU KUP  apakah khusus atas SKPKB yang diterbitkan dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak dapat diselesaikan melalui Pasal 36 Ayat 1 b UU KUP.

Penyelesaian sengketa SKPKB yang terkait pengampunan pajak semestinya lebih sederhana prosesnya karena prinsipnya hanya mencocokkan data harta kekayaan yang dilaporkan oleh WP dengan data harta yang dimiliki DJP dan semestinya tidak diperlukan proses pemeriksaan dan pembuktian pembukuan/pencatatan yang rumit seperti halnya penyelesaian keberatan menurut Pasal 26 UU KUP.

Ferdy A Sihotang Bekerja di Pengadilan Pajak

Kompas, 27 Februari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Selasa, 27 Februari 2018

ARTIKEL OPINI: Tahun Perjudian Politik (INDRA TRANGGONO)

Kelompok elite politik di negeri ini selalu punya akal dalam memainkan kata-kata. Tahun 2018 mereka sebut sebagai tahun politik.

Kesannya, seolah-olah genting, penting, dan menentukan masa depan bangsa. Padahal, hal itu tak lebih dari perhelatan politik pemilihan kepala daerah (pilkada), tempat para juragan dan jago politik bertarung memperebutkan kekuasaan.

Kata, frasa, ujaran verbal, dan sejenisnya bukan entitas simbolik yang hampa karena di dalamnya terkandung makna. Ketika dioperasikan oleh pelbagai kekuatan (modal ekonomi, sosial, politik, budaya, dan media), kata-kata mampu menjelma menjadi realitas. Begitu juga frasa "tahun politik". Sihir makna yang dibuncahkan secara bertubi, intensif dan masif, akhirnya mampu memengaruhi opini dan perilaku publik. Alhasil, publik pun yakin, tahun politik itu benar-benar ada, penting, dan "menentukan masa depan bangsa".

Terbukti bahwa makna mampu menghegemoni publik ketika kata-kata dikapitalisasi dan dimasifikasi. Ini menunjukkan, kata-kata tak pernah netral. Mereka berpotensi jadi alat kepentingan. Kata-kata pun menjelma  jutaan anak panah yang menghujam di dalam kognisi dan akhirnya mengatur (mendikte) perilaku publik. Perekayasaan kata-kata mampu menciptakan kesadaran magis (palsu) dalam diri publik yang terhegemoni. Kesadaran dan daya kritis melemah sehingga publik pun meyakini capaian  yang diinginkan perekayasa bahasa merupakan "kebenaran" sekaligus titah yang wajib diikuti.

Ketika publik mendengar atau melihat teks "tahun politik", sontak terbayang pilkada yang penuh aroma pesta, kegembiraan politik, masa depan gemilang, idola-idola politik, ratu adil, perubahan, keadilan, dan kesejahteraan. Semua realitas bentukan itu melahirkan teater di kepala publik. Publik merasa sebagai subyek yang diperhitungkan. Padahal, mereka tak lebih obyek politik yang sengaja dipersiapkan untuk dirampas suaranya.

Hanya mereka yang memiliki kadar kesadaran yang tak tinggi yang bisa jadi korban perekayasaan bahasa dalam kecanggihan teknologi makna. Ini pun tak lepas dari kondisi sosial-ekonomi publik yang karut-marut, tempat uang Rp 20. 000-Rp 50.000 menjadi sangat signifikan. Belum lagi faktor pendidikan dan pengetahuan yang relatif rendah. Ditambah pula tak ada kesetaraan secara sosial sehingga feodalisme menjadi mesin yang efektif untuk menelikung hak-hak publik.

"Telur busuk"

Di tengah berbagai ketaksetaraan,  demokrasi hanya jadi ruang dan peluang bagi kelompok elite ekonomi dan politik untuk bersaing merebut kekuasaan. Kekuasaan bukan lagi dilegitimasi oleh amanah rakyat, melainkan uang (modal ekonomi) dan kuasa politik. Rakyat tak pernah menjadi subyek yang memberi mandat. Rakyat tidak pernah memilih pemimpinnya sendiri, melainkan digiring untuk memilih oleh parpol dan penguasa modal.

Sesungguhnya rakyat tak pernah bertemu dengan pemimpin- pemimpin sejati (kapabel, berintegritas, berkomitmen, dan dedikatif) karena mereka yang memiliki kualitas kepemimpinan semacam itu cenderung tidak sanggup membayar "tiket" pilkada yang sangat mahal, sampai puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Demokrasi yang dicita-citakan kaum terdidik menjadi jalan untuk memperkuat posisi tawar masyarakat dengan keadilan yang distributif, akhirnya menjadi "telur busuk" peradaban karena dikelola secara kurang berbudaya dan bermartabat.

Ini bisa kita lihat, para kepala daerah yang dihasilkan melalui pemilihan berlanggam politik transaksional itu cenderung memiliki banyak cacat dan kelemahan. Prestasi mereka jeblok. Bahkan, tidak sedikit yang harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Uang miliaran rupiah yang mereka tumpahkan justru menendang mereka ke penjara. Bahwa muncul pula kepala daerah yang mendekati ideal, hal itu tak lebih dari "bonus" atau keajaiban yang tidak dapat diprediksi dan dijadikan pedoman.

Masihkah kita gagah menyebut tahun 2018 adalah tahun politik?  Yang terjadi sesungguhnya bukan tahun politik, tetapi tahun perjudian politik para jagoan dan juragan politik. Mereka ramai-ramai memasuki kasino demokrasi dengan memasang uang taruhan besar. Hal yang menentukan adalah kemampuan menguasai mesin judi itu sehingga mampu meraup kemenangan.

Peran para "dolob"

Tentu saja yang ewuh (berhelat) adalah mereka yang berkepentingan atas kekuasaan di tingkat daerah; dari parpol, pasangan calon, broker politik, mediator politik, sampai dolob-dolob  politik alias mereka yang ditugaskan memprovokasi masyarakat untuk berpartisipasi dan memberikan dukungan suara.

Peran para dolob mirip dalam permainan dadu celiwik. Posisi mereka pro-bandar. Mereka berpura-pura berjudi demi mendorong orang-orang lain ikut gasang(memasang, mempertaruhkan uang) dengan menembak angka atau gambar. Dibangun kesan, perjudian itu seolah-olah jujur, adil (jurdil), transparan, akuntabel, dan profesional. Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah "penyembelihan" bagi para petaruh.

Setelah kemenangan itu ada di tangan bandar, para dolob itu pun menciptakan peristiwa seolah-olah ada garukan (pembersihan) judi dari aparat keamanan. Situasi pun kacau. Permainan otomatis berakhir dengan uang menumpuk di kantong bandar.

Rakyat adalah mereka yang didorong paradolob untuk mempertaruhkan suaranya dengan memilih calon kepala daerah yang mereka "jual". Tentu dengan janji muluk-muluk. Para calon kepala daerah pun mendadak menjadi juru mudi keadilan yang arif sekaligus pembagi kesejahteraan, melalui kata-kata beraroma surgawi. Seolah-olah mereka adalah sosok pembebas yang sengaja diutus Tuhan ke bumi untuk membereskan persoalan. Citra mengilap yang dipantulkan kamera, media, dan teknologi pesona mampu memanipulasi sosok-sosok calon.

Kenapa absurditas politik transaksional yang penuh kepalsuan ini dipertahankan dan terus berlangsung? Pertama, absurditas itu memberikan kenyamanan bagi kelompok-kelompok kepentingan yang menganggap berkuasa adalah cara paling strategis untuk meraup kekayaan, kejayaan dan martabat diri dan kelompoknya. Mereka lupa tugas pokok dan fungsi berkuasa adalah menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi publik.

Kedua, tak adanya kesetaraan secara multidimensional sebagai prasyarat demokrasi (pendidikan, ekonomi, politik, sosial, hukum, dan budaya). Otomatis, rakyat yang miskin dalam soal modal budaya, ekonomi dan budaya tak punya posisi tawar tinggi. Tugas menaikkan posisi tawar rakyat itu sejatinya jadi tanggung jawab parpol. Namun, parpol enggan jadi wahana kultural untuk menciptakan civil society dan memilih menjadi penjual jasa politik.  

Muara persoalannya adalah politik telah dicopot dari ranah kebudayaan dan dihadirkan semata-mata sebagai alat untuk meraih kekuasaan demi kejayaan material. Kebudayaan mendorong kita untuk mengutamakan nilai, gagasan, etika, logika, estetika, dan karya-karya berdimensi masa depan (peradaban). Namun, sayangnya, kebudayaan tidak pernah dihitung para aktor besar politik di negeri ini. Obsesi mereka: hanya berkuasa.Mukti wibawa tanpa hamemayu manungsa lan bangsa (kejayaan tanpa orientasi nilai meninggikan martabat manusia dan bangsa).

Tahun politik, bagi rakyat, akhirnya tak lebih dari tahun perjudian memilih pemimpin sekaligus intro bagi tahun-tahun kepedihan secara permanen.

Indra Tranggono Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan

Kompas, 27 Februari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Hilangnya Rasa Malu (BINSAR JONATHAN PAKPAHAN)

Terbukanya informasi mengenai proses penanganan kasus korupsi KTP elektronik yang menjerat eks Ketua DPR RI Setya Novanto memperlihatkan sebuah drama hilangnya rasa malu. Pembohongan publik terjadi melalui terungkapnya informasi bahwa rumah sakit sudah dipesan sebelum kecelakaan terjadi, dan ketika dokter yang ditugaskan KPK untuk memeriksa menyatakan bahwa tersangka sehat, tetapi yang bersangkutan menyatakan sakit kepada hakim sehingga tidak sanggup menyebutkan namanya dengan jelas dalam persidangan pertama.

Peristiwa serupa kita lihat juga dalam beberapa kasus lain, yakni seseorang melakukan pembohongan publik tanpa merasa malu atau salah. Pertanyaan, apakah seseorang bisa memperlihatkan kebohongan dengan jelas kepada publik tanpa merasa bersalah atau malu? Atau, apakah perasaan tidak bersalah menutupi rasa malu yang bersangkutan? Apa relasi antara rasa salah dan malu?

Norma moral

Dalam masyarakat yang lebih memiliki relasi kekerabatan lebih dekat, seperti negara-negara di Asia, rasa hormat dan malu memiliki peran yang lebih kuat sebagai norma moral dalam masyarakat dari rasa benar dan salah dalam norma hukum.
Ketika seseorang melakukan kesalahan dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kehormatan, seperti Jepang dan Korea Selatan, dia dengan sendirinya akan merasa malu kepada publik atas kegagalannya. Sementara dalam masyarakat ini, seseorang bisa melanggar hukum untuk membela kehormatannya, misalnya membunuh demi kehormatan keluarga. Di pihak lain, masyarakat yang lebih memegang norma hukum lebih menegakkan rasa benar dan salah dalam perubahan sikap, dan rasa malu muncul hanya untuk hal-hal yang bersifat personal.

Rasa salah dan malu adalah bagian dari emosi. Ada tiga teori umum yang menggambarkan proses terbentuknya emosi. Teori pertama mengatakan bahwa emosi adalah bentukan masyarakat. Dalam hal ini, seseorang yang tidak merasa malu atau salah tidak merasakannya karena masyarakat tidak menyatakan bahwa itu salah atau memalukan, atau karena masyarakat memiliki norma yang berbeda. Saya baru merasa malu kalau masyarakat menyatakan bahwa tindakan saya menghilangkan kehormatan saya.

Dalam konteks masyarakat yang lebih individual, rasa malu tak lagi bergantung pada masyarakat, dan masuk ke ruang privat. Seseorang yang korupsi akan merasa bersalah, tetapi tak merasa malu. Meski demikian, konektivitas dunia melalui media sosial membawa teori emosi sebagai bentukan masyarakat kembali melalui public shaming. Kita bisa dengan beramai-ramai menghakimi seseorang melalui media sosial meski tindakannya tidak melanggar hukum.

Teori kedua menyatakan emosi adalah bagian dari proses evolusi. Penelitian emosi dalam tradisi evolusi Darwin melihat perkembangan emosi dalam perspektif evolusi sebagai proses alami. Mereka yang berada dalam tradisi ini akan membandingkan emosi manusia dengan spesies lain dan proses adaptasi yang membuat emosi manusia berkembang. Jika emosi adalah bagian alami dari proses evolusi, bisakah seseorang disalahkan karena tidak memiliki emosi tertentu? Apakah seseorang harus bertanggung jawab untuk emosi yang tidak dirasakannya karena tidak berkembangnya emosi itu dalam dirinya?

Teori ketiga menempatkan emosi sebagai penilaian. Pemikiran ini bisa ditelusuri sampai ke kaum Stoa yang memperlihatkan bahwa emosi  adalah  hasil  dari penilaian seseorang atas sebuah situasi. Emosi adalah penilaian atas benda-benda, orang-orang, atau kejadian-kejadian yang melibatkan diri sendiri. Emosi adalah refleksi dari penilaian seseorang akan hal-hal yang berlangsung baik atau buruk di dalam hidupnya.

Emosi muncul ketika kita memproyeksikan hal yang kita lakukan atau belum, lalu memberikan penilaian terhadapnya. Norma yang membentuk seseorang akan membuatnya mengambil penilaian kebajikan, apa perasaan yang dimilikinya atas hal tersebut. Dalam paham ini, seseorang bisa disalahkan ketika dia tidak memiliki perasaan tertentu karena norma yang dianutnya menyuruhnya untuk merasakan hal itu.

Budaya  Timur, khususnya di Indonesia, sepertinya berada dalam teori emosi pertama, yaitu emosi sebagai bentukan masyarakat. Pada awalnya, berbagai budaya di Indonesia tak memisahkan malu dan salah, semuanya masuk dalam penilaian masyarakat. Namun, setelah hukum formal ditegakkan di masyarakat, negara mengambil alih penilaian benar dan salah, sedangkan masyarakat hanya bisa menilai terhormat atau memalukan. Pemisahan ini menimbulkan komplikasi bahwa seseorang bisa merasa malu tapi tidak bersalah, seperti seorang rentenir yang merasa malu untuk mengakui profesinya kepada saudaranya, tapi tak merasa bahwa dia melanggar hukum.

Kembalikan rasa malu

Mengapa seseorang bisa tak merasa malu? Ada dua sebab. Dalam kasus pelanggaran hukum formal di masyarakat,
ketika kekuatan hukum tidak berjalan dengan baik, seseorang yang menyandarkan rasa malu pada penilaian masyarakat tidak akan merasa bersalah sebelum diputus bersalah oleh pengadilan. Ketika sistem peradilan yang tidak baik membuat yang bersalah lolos dari hukuman, kepercayaan masyarakat terhadap sistem itu juga jadi rendah.

Alasan kedua berhubungan dengan bagaimana seseorang meraih kedudukan terhormat di masyarakat. Ketika seseorang sudah mencapai status terhormat di masyarakat, baik karena posisi, harta, maupun pekerjaan, ketika dinyatakan bersalah oleh hukum dia tetap dianggap terhormat di komunitasnya. Lingkaran ini akan mengantar seseorang pada sikap tanpa rasa salah atau rasa malu.

Bagaimana cara mengembalikan rasa malu dan salah? Pertama, hukum harus ditegakkan sehingga seseorang yang bersalah ditetapkan bersalah dan menerima hukuman. Kedua, pengajaran virtue harus dikuatkan, terutama dalam pengajaran nilai-nilai moral agama dan bangsa Indonesia, sehingga seseorang harusnya merasa bersalah dan malu karena penilaian berasal dari pengajaran nilai yang ada dalam dirinya sendiri.

Binsar Jonathan Pakpahan Pengajar Filsafat dan Etika di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

Kompas, 27 Februari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Pendidikan Dasar-Menengah Menyongsong Era Otomatisasi (ANITA LIE)

Dalam pertemuan tahunan World Economic Forum pada Januari lalu, Jack Ma mengingatkan bahwa pendidikan adalah tantangan besar abad ini.

Jika kita tidak mengubah cara mengajar anak-anak kita, 30 tahun mendatang kita akan mengalami kesulitan besar. Yang kita ajarkan saat ini adalah peninggalan 200 tahun lalu, sarat dengan muatan pengetahuan. Yang dikhawatirkan adalah para lulusan pendidikan semacam ini tidak bisa berkompetisi dengan mesin.

Perlu kesiapan

Sudah banyak ulasan soal peluang dan ancaman otomatisasi pada berbagai pekerjaan dan bidang profesi. Salah satunya ulasan berbagai variabel pekerjaan dan kemungkinan kerentanan tergantikan oleh komputerisasi (Frey & Osborne, 2013). Tiga kategori variabel adalah persepsi dan manipulasi, kecerdasan kreatif, dan kecerdasan sosial.

Yang termasuk kategori persepsi dan manipulasi adalah ketangkasan motorik kasar dan halus serta kemampuan bekerja dalam ruang fisik yang sulit dan terbatas. Kecerdasan kreatif mencakup orisinalitas dan karya seni. Kecerdasan sosial meliputi persepsi sosial, negosiasi, persuasi, dan kepedulian terhadap sesama. Variabel paling tidak rentan tergantikan oleh komputerisasi adalah orisinalitas dan persepsi sosial, kemudian adalah kepedulian sosial dan persuasi.

Sebaliknya, pekerjaan-pekerjaan yang paling rentan ter-otomatisasi mencakup fungsi-fungsi yang rutin, pengulangan, dan dapat diprediksi pada bidang-bidang layanan kepada pelanggan, penjualan, administrasi perkantoran, produksi (pertanian, perikanan, perkebunan, dan kehutanan) dan konstruksi. Pekerja telemarketing, kasir, paralegal, sopir, tukang masak cepat saji, dan administrasi perlu bersiap diri dan mengasah keterampilan tambahan agar tidak terpinggirkan dalam era otomatisasi.

Satryo Brodjonegoro menulis tentang "Kecakapan Era 4.0" dan implikasinya bagi pendidikan tinggi di Indonesia (Kompas,14 Februari 2018). Sebelum pendidikan tinggi, proses pengembangan kecakapan era 4.0 perlu dan bisa dilakukan sejak titik hulu pada pendidikan usia dini dan sepanjang masa pendidikan dasar dan menengah.

Apakah pendidikan dasar dan menengah sudah siap dengan tuntutan perubahan ini? Bagaimana sistem pendidikan dasar dan menengah bisa mengantar anak-anak muda Indonesia untuk menjadi lebih cerdas daripada mesin dan makin bijak untuk bisa menggunakan mesin demi kemaslahatan manusia?

Ketersediaan, peningkatan profesionalisme, dan perlindungan serta penghargaan guru adalah satu dari lima isu strategis bidang pendidikan sesuai hasil Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2018. Pemerintah pusat dan daerah perlu berkoordinasi dan harmonisasi dalam membuat regulasi tentang pembagian kewenangan dan pembiayaan dalam rangka peningkatan kualitas dan profesionalisme guru berdasarkan pemetaan dan analisis kebutuhan pelatihan guru.

Terkait dengan urgensi perubahan menyongsong era otomatisasi, guru sebagai fasilitator proses pendidikan dasar dan menengah diharapkan bisa menyiapkan para siswa untuk menavigasi masa depan mereka dan menjadikan diri mereka sebagai tuan yang akan mampu mengendalikan mesin atas dasar penghargaan terhadap martabat manusia. Mengembangkan kecerdasan kreatif dan kecerdasan sosial seharusnya menjadi bagian penting kurikulum dan proses pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Sayangnya, ketika guru disibukkan oleh beban penyampaian muatan pengetahuan plus berbagai tugas administratif, guru akan merasa beban kurikulum terlalu padat dan tidak mempunyai waktu untuk memberikan siswa kesempatan menjelajahi daya-daya kreatif mereka dan menghasilkan karya-karya orisinal. Selanjutnya, interaksi sosial para siswa juga jadi terbatasi. 

Akhirnya, proses   belajar-mengajar di sekolah merupakan rutinitas pengulangan dan penyampaian muatan pengetahuan yang tidak mengasah siswa untuk mengembangkan daya cipta dan kepedulian sosial mereka.  Apa yang dikuatirkan Jack Ma terhadap kegagalan pendidikan sebagai katalis perubahan masyarakat akan terjadi. Mengubah fenomena ini membutuhkan koherensi keseluruhan proses, mulai dari model kurikulum, pengembangan kapasitas guru, proses pembelajaran di kelas, dukungan sarana-prasarana, hingga penilaian hasil pembelajaran.

Asah keterampilan guru

Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang rendah masih merupakan tantangan besar. Rata-rata hasil UKG pada 2016 adalah 54,33 (SD), 58,25 (SMP), 61,74 (SMA) dan 58,30 (SMK). Pengamatan dan penelitian di lapangan tidak berbeda jauh dengan hasil UKG. Survei dan wawancara terhadap 193 sampel guru di Provinsi Sumatera Utara, Riau, dan Jambi menunjukkan bahwa sebagian besar guru menggunakan media pembelajaran hanya untuk latihan yang menggunakan kemampuan berpikir tingkat rendah (Harjanto, Lie, Wihardini, Pryor & Wilson,Journal of Education for Teaching).

Program pengembangan kapasitas guru berupa pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga filantropis, seperti Tanoto Foundation, patut dihargai dan sudah menunjukkan berbagai kemajuan berupa peningkatan kompetensi pedagogis guru peserta pelatihan.

Setelah berpartisipasi dalam program pelatihan, para guru tampak lebih terampil dalam pengelolaan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM). Upaya peningkatan mutu guru masih harus dilanjutkan dan ditingkatkan, terutama karena data lini dasar kompetensi guru masih kurang memadai dan lompatan  kompetensi yang harus dilakukan para guru mesti besar agar bisa mengantar siswa mengembangkan kecerdasan kreatif dan kecerdasan sosial mereka.

Secara spesifik, banyak guru masih harus mengasah keterampilan bertanya yang bisa mengarahkan siswa untuk berpikir tingkat tinggi dan membangun budaya bertanya di kalangan para siswa yang sudah terperangkap dalam budaya diam dan duduk manis.

Selain itu, para guru juga perlu melihat dunia di luar sekolah dan membangun jembatan antara materi pembelajaran dan kehidupan sehari-hari. Hasil pemetaan dan analisis kebutuhan pelatihan guru diharapkan bisa ditindaklanjuti dengan rencana pelatihan guru berkelanjutan berdasarkan model-model pengembangan profesionalisme yang sesuai.

 Anita Lie Guru Besar FKIP Universitas Widya Mandala, Surabaya

Kompas, 27 Februari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Lebarkan Pondokgede Raya//Tanggapan Ditjen Pajak//Kitab Belum Tiba (Surat Pembaca Kompas)

Lebarkan Pondokgede Raya

Perjalanan bus transjakarta memasuki jalur halte Garuda, apalagi Terminal Pinangranti, hampir setiap saat terhambat. Keterhambatan ini melahirkan tudingan bahwa Pemerintah Kota Jakarta Timur maupun Provinsi DKI Jakarta abai terhadap penderitaan pemakai kendaraan, termasuk penumpang transjakarta.

Jalan Pondokgede Raya merupakan akses utama menuju wilayah perbatasan DKI dengan Kota Bekasi. Sesungguhnya untuk wilayah DKI Jakarta, pada era Gubernur Ahok sudah ditetapkan batas pelebaran. Itu dibuktikan oleh batas terdepan bangunan Tamini Square, Terminal Pinangranti, ataupun dua SPBU di sana yang sudah mengikuti aturan. Untuk itu, perumahan yang dihuni keluarga TNI Angkatan Udara sudah dibongkar.

Karena tak ada tindak lanjut, kini lahan perumahan yang sudah dibebaskan berubah menjadi lahan tempat usaha. Apakah bangunan baru di sana sudah dilengkapi IMB, Pemkot Jakarta Timur bisa langsung mengecek. Yang jelas, keluarga TNI-AU yang merelakan huniannya digusur bisa kecewa melihat kenyataan sekarang.

Untuk itu, kami mohon Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno membuka kembali rencana pelebaran Jalan Pondokgede Raya dan mempercepat pembangunannya yang sudah lama tertunda. Tanpa akselerasi pelebaran, tiada solusi lain yang bisa melancarkan arus kendaraan di Jalan Pondokgede Raya.

A Ristanto
Jatimakmur Pondokgede,
Kota Bekasi, Jawa Barat

Tanggapan Ditjen Pajak

Menanggapi isi artikel Sdr Didi Achjari diKompas (3/2), kami sampaikan hal berikut.

UU PPh mengatur bahwa seluruh badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia dalam bentuk apa pun merupakan subyek pajak, kecuali: (a) pembentukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) pembiayaan bersumber dari APBN atau APBD; (c) penerimaan dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah; (d) pembukuan diperiksa aparat pengawasan fungsional negara.

Perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH) merupakan subyek pajak badan karena pendanaannya tak hanya bersumber dari APBN atau APBD, dan pendapatan yang diterima tidak dimasukkan ke dalam APBN atau APBD.

UU PPN mengatur bahwa orang pribadi atau badan yang menyerahkan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak, kecuali pengusaha kecil (berpenghasilan di bawah Rp 4,8 miliar per tahun), wajib melaporkan usahanya. Mereka wajib memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang.

Dalam hal PTN-BH menyerahkan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dan tidak termasuk pengusaha kecil, maka wajib dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah terutang. Tak termasuk dalam jasa kena pajak sebagaimana dimaksud antara lain kelompok jasa pendidikan dan atau jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan.

Penghasilan yang diterima dosen dan tenaga pendidikan yang bersumber dari PTN-BH bukan beban APBN atau APBD. Atas penghasilan itu tak dikenai pajak bersifat final.

Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-34/PJ/2017 masih relevan sebagai acuan perlakuan perpajakan bagi PTN-BH untuk memberikan keseragaman pemahaman dan penafsiran tentang perlakuan perpajakan bagi PTN-BH.

Hestu Yoga SaksamaDirektur Ditjen PajakKementerian Keuangan RI 


Kitab Belum Tiba

Saya mendapat kiriman kitab Taurat berbentuk gulungan (scroll) untuk keperluan studi dengan ongkos kirim 60 dollar AS melalui situs Ebay di AS.

Dikirim 5 Desember 2017 dengan perkiraan tiba di Jakarta pada 25 Desember 2017 hingga 5 Januari 2018. Namun, lebih dari satu bulan menunggu, belum ada kabar beritanya.

Mohon informasi dari pihak Imigrasi dan kantor pos.

BENYAMIN OBADYAH
Bumi Bintaro Permai,

Jakarta Selatan

Kompas, 27 Februari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Pesan di Balik Bencana (Kompas)

Warga beserta tim gabungan membersihkan lumpur tebal di jalan dan rumah-rumah di Dusun Cikaray yang menjadi salah satu dusun yang paling terdampak akibat longsor yang terjadi pada 22 februari di Pasirpanjang, Salem, Brebes, Jawa Tengah, Minggu (25/2). Lebih dari 40 rumah di Dusun Cikaray terendam lumpur yang terbawa sungai disertai batang dan ranting pohon.
DANIAL ADE KURNIAWAN

Warga beserta tim gabungan membersihkan lumpur tebal di jalan dan rumah-rumah di Dusun Cikaray yang menjadi salah satu dusun yang paling terdampak akibat longsor yang terjadi pada 22 februari di Pasirpanjang, Salem, Brebes, Jawa Tengah, Minggu (25/2). Lebih dari 40 rumah di Dusun Cikaray terendam lumpur yang terbawa sungai disertai batang dan ranting pohon.

Dalam tiga hari terakhir, berita bencana alam longsor dan banjir menjadi berita utama harian ini. Bencana selalu menyampaikan pesan soal perilaku manusia.

Tanah longsor di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Jumat, 23 Februari 2018, mengakibatkan 7 orang tewas dan 13 orang masih hilang. Harian ini juga menulis penyebab longsor beragam, mulai dari tingginya curah hujan, topografi yang terjal, hingga rendahnya kesadaran warga menjaga ekosistem lingkungan dan antisipasi bencana. Kita tidak mungkin menyalahkan curah hujan yang tinggi karena itu adalah peristiwa alam. Yang justru harus kita persalahkan adalah perilaku warga itu sendiri.

Setelah longsor terjadi, banjir akibat meluapnya Sungai Cisanggarung di perbatasan Cirebon-Brebes menggenangi pantai utara Jawa, melumpuhkan sejumlah perjalanan kereta api dan sejumlah sentra pertanian serta sebagian Jalan Tol Kanci.

Kita mengangkat isu bencana alam di tengah gegap gempita urusan perebutan kekuasaan dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Kita pun ingin mendorong agar calon pemimpin daerah atau pemimpin nasional betul-betul mempertimbangkan model pembangunan berkelanjutan, pembangunan yang memperhatikan dengan saksama soal daya dukung lingkungan. Bagaimana pembangunan dijalankan dengan tak menghancurkan lingkungan. Dari pemerintahan demokrasi ke ecocracy, sebuah pemerintahan yang punya visi pembangunan lingkungan hidup.

Bencana alam selalu menjadi peristiwa in between. Pernah terjadi pada waktu lalu, sekarang sedang terjadi, dan berpotensi terjadi di masa depan. Masalahnya, bencana yang sudah terjadi tidak pernah dijadikan pelajaran oleh kita semua. Bagaimana kita harus hidup di daerah yang rawan bencana? Bagaimana kebijakan pembangunan kota dilakukan dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup?

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, tanah longsor menjadi bencana paling mematikan dengan 1.841 korban jiwa dalam 10 tahun terakhir (Kompas, 14 Februari 2018). BNPB juga mencatat 40,9 juta atau 17,2 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah rawan longsor. Ketika hutan terus dialihfungsikan, pembangunan dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan, kita khawatir bencana alam karena ulah manusia akan kian kerap terjadi.

Dengan latar belakang itulah kita ingin mengajak elite politik untuk betul-betul mempertimbangkan kondisi kerentanan ini. Setelah BNPB mencatat 40,9 juta penduduk tinggal di zona rawan longsor, kebijakan apa yang mau ditawarkan pemerintah untuk penduduk di sekitar lokasi tersebut. Relokasi adalah pilihan terakhir karena itu juga tidak mudah. Namun, pembangunan apa pun tidak boleh dilakukan secara serampangan, tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

Elite politik tentunya harus menyadari bahwa perilaku dan kebijakan pembangunan mereka sekarang ini akan menentukan nasib Indonesia ke depan. Kita tentunya tidak ingin Indonesia Emas pada tahun 2045—ketika Republik Indonesia berusia 100 tahun—akan menjadi generasi yang cemas karena melemahnya daya dukung lingkungan

Kompas, 26 Februari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger