Banyak pesan penting dan menarik dari Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada 23-26 Januari lalu.

Hadir dan memberikan pemikirannya pada forum bergengsi tersebut adalah para pemimpin negara, pemimpin perusahaan besar, maupun para pemikir terkenal. Salah satu tokoh yang isi pembicaraannya cukup menarik adalah Perdana Menteri Inggris Theresa May. Dalam pidatonya, Theresa May sangat lugas membawakan tema tentang bagaimana Inggris menghadapi inovasi teknologi yang telah mengubah lanskap bisnis, sosial, politik, maupun pelayanan publik.

Perkembangan teknologi dewasa ini memang luar biasa. Digitalisasi dan otomasi adalah dua kata yang mencerminkan perubahan besar yang menyertai kehidupan kita saat ini. Dua hal tersebut mengubah kehidupan sosial masyarakat, merevolusi model bisnis, serta mengubah cara pemerintah melayani masyarakat. Inovasi teknologi ini bahkan juga mengubah politik ekonomi dunia, mengubah cara orang mendapatkan pendidikan dan mengubah cara pengobatan terhadap berbagai penyakit.

Berbagai inovasi ini menawarkan kemudahan sekaligus memunculkan tantangan. Di bidang otomasi, berbagai teknologi baru mulai digunakan untuk kegiatan produksi, transportasi, dan pergudangan. Sebagai contoh, perusahaan daring (online) Amazon dan perusahaan logistik DHL telah menggunakan droneuntuk mengangkut barang pesanan pelanggan ke alamat mereka. Truk tanpa sopir juga sudah mulai diuji coba oleh beberapa perusahaan angkutan barang di AS.

Baru-baru ini perusahaan sepatu Nike dan Adidas merilis rencana mereka menggunakan robot dalam kegiatan produksinya. Alibaba, raksasa ritel daring di China, telah menggunakan robot untuk memindahkan barang di dalam gudang. Robot-robot tersebut mampu mengangkut barang dengan berat 500 kilogram dan memiliki sensor untuk menghindari tabrakan di area gudang.

Teknologi baru memang selalu menjanjikan kemudahan. Drone yang digunakan untuk mengirim barang ke pelanggan mengurangi persoalan kemacetan jalan. Penggunaan truk tanpa sopir diperkirakan bisa meningkatkan produktivitas, mengurangi kecelakaan, dan mempercepat pengiriman barang sampai ke tempat tujuan karena truk tanpa sopir ini tak lagi dibatasi oleh jam kerja.

Persoalan

Terlepas dari berbagai keunggulan yang ditawarkan teknologi tersebut, ada banyak sisi lain yang harus kita waspadai. Salah satu tantangan nyata adalah lapangan pekerjaan. Otomasi di kegiatan produksi, transportasi, pergudangan, perbankan, serta digitalisasi perdagangan mengancam begitu banyak lapangan pekerjaan. ILO (Organisasi Buruh Internasional) bahkan memprediksi bahwa dalam 20 tahun mendatang sekitar 56 persen dari tenaga kerja di kawasan Asia Tenggara akan terkena risiko tergantikan oleh mesin sebagai konsekuensi dari otomasi secara besar-besaran. Senada dengan itu, sebuah tulisan di Dailymail Online, 29 November 2017, menyebutkan bahwa sekitar 800 juta pekerja akan tergantikan oleh robot pada tahun 2030.

Kalau kita melihat struktur rantai pasok dari berbagai barang seperti sepatu dan garmen, saat ini Indonesia memperoleh banyak sekali lapangan kerja akibat kebijakan subkontrak yang dilakukan perusahaan pemegang merek besar dunia. Ketika robot makin banyak digunakan, konfigurasi rantai pasok global akan berubah, di mana produksi tidak lagi harus dilakukan di negara-negara dengan tenaga kerja murah seperti di Indonesia, tetapi bisa lebih mendekati pasar, termasuk di negara-negara maju yang biaya tenaga kerjanya mahal.

Perusahaan yang selama ini bekerja dengan model rantai pasok global karena ingin mencari lokasi produksi dengan biaya tenaga kerja murah akan mengubah strateginya menjadi apa yang mereka sebut sebagai nearshoring, yakni memindahkan fasilitas produksi ke lokasi yang dekat pasar. Tentu bagi Indonesia hal ini menghadirkan tantangan besar dalam penyediaan lapangan kerja di masa mendatang.

Penggantian tenaga kerja oleh mesin juga akan merambah berbagai pekerjaan lain, seperti pekerjaan kantoran yang sangat berulang, sistematis, dan teknis. Substitusi oleh mesin sudah dan akan terjadi di pekerjaan restoran cepat saji, sektor perbankan, agen perjalanan, dan di berbagai sektor lainnya.

Isu tergantikannya pekerjaan manusia oleh mesin sebenarnya sudah jadi diskusi yang cukup lama. Tahun 2011, dua profesor dari MIT, Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee, memublikasikan buku berjudulRace Against the Machine. Buku ini mengulas bagaimana teknologi memberikan kemudahan bagi manusia, tetapi juga memunculkan ancaman berkurangnya lapangan pekerjaan. Lebih lanjut juga dipaparkan data bahwa kemajuan teknologi tidak memberikan manfaat yang merata bagi semua orang. Kemajuan teknologi ditengarai justru menciptakan kesenjangan ekonomi yang lebih tinggi di kalangan masyarakat.

Peran pemerintah

Kemajuan teknologi memang tidak bisa dibendung. Perusahaan yang menjalankan bisnis, organisasi pemerintahan yang melayani masyarakat, ataupun masyarakat secara individu tidak mungkin mengelak dari perkembangan teknologi karena memang banyak kemudahan yang ditawarkan dengan memanfaatkan teknologi tersebut.

Kementerian Perindustrian kabarnya sudah mulai mendorong perusahaan manufaktur besar untuk mengadopsi teknologi industri 4.0, sebuah inovasi yang menciptakan keterhubungan informasi dalam kegiatan produksi dan pengiriman barang. Namun, isu utama yang harus dihadapi pemerintah adalah konsekuensi dari implementasinya, bukan pada mau tidaknya perusahaan menggunakannya.

Tantangannya justru bagaimana pemerintah bisa berperan aktif dalam membuat kerangka yang komprehensif, yang mencakup regulasi, penyiapan SDM, pengurangan ketimpangan, dan peningkatan inklusivitas dari perkembangan teknologi ini. Pemerintah harus memiliki peta jalan yang jelas bagaimana menghadapi risiko perubahan peta lapangan kerja ke depan.

Harus ada tim yang memformulasikan langkah-langkah strategis dalam mencegah termarjinalkannya sebagian masyarakat karena tidak cukupnya kesempatan kerja atau tak punya keahlian memadai untuk mengambil pekerjaan yang ada. Sudah banyak kita dengar bahwa inovasi teknologi akan memunculkan peluang pekerjaan baru, tetapi peluang itu butuh keahlian yang baru juga. Implikasinya, perlu ada perubahan besar di sektor pendidikan dan pelatihan kerja.

Sebagai rujukan, kita bisa melihat apa yang dilakukan Inggris, misalnya. Dalam pidatonya di Davos, PM May secara tegas menyatakan sikap dan kebijakan Pemerintah Inggris menghadapi inovasi teknologi yang sangat pesat itu. Pertama, menyediakan dana sekitar 45 juta pound sterling untuk mencetak para doktor pada bidang kecerdasan buatan. Kedua, mereka juga membentuk apa yang dinamakan Institute of Coding, sebuah konsorsium besar yang melibatkan sekitar 25 perguruan tinggi serta perusahaan besar, seperti IBM, Cisco, Microsoft, dan British Telecom. Misinya: menyiapkan tenaga kerja ahli dan terampil yang siap mengambil dan menciptakan pekerjaan di era ekonomi digital di masa mendatang.

Indonesia sebagai negara besar dengan ketimpangan ekonomi cukup lebar tentu harus bersiap lebih serius. Mampukah pemerintah menyiapkan lapangan kerja bagi lulusan sekolah/perguruan tinggi yang masuk ke dunia kerja maupun mereka yang pekerjaannya tergantikan oleh mesin? Apakah pemerintah sudah memformulasikan langkah strategis secara komprehensif, termasuk melibatkan perguruan tinggi dan industri? Sudahkah ada mitigasi terhadap risiko melebarnya gap ekonomi akibat inovasi teknologi dan terpinggirkannya sebagian masyarakat yang tak mampu mengikuti perkembangan teknologi tersebut?

Kita harus mampu membuat inovasi teknologi nyaman bagi setiap orang, mampu meningkatkan pemerataan, merealisasikan ekonomi berkeadilan sosial, dan meningkatkan inklusivitas. Di era digital dewasa ini, mendengungkan kembali perlunya keadilan sosial dalam pembangunan ekonomi bahkan menjadi lebih penting dibandingkan dengan di era sebelumnya.