Kebudayaan adalah sistem nilai yang telah menjadikan kita sebagai manusia. Kebudayaan itu pula yang telah mengajarkan kita cara berpikir, makan, bersopan santun, menghargai pemimpin, cara melaut, bertani, bertoleransi, dan dimensi-dimensi imaterial lainnya. Tanpa kebudayaan, kita tidak mungkin memiliki sejarah yang adiluhung, bahkan tak memiliki karakter dan jati diri sebagai bangsa.

Dari segi karya budaya, kebudayaan leluhur negeri ini yang memberikan kita Candi Borobudur, Candi Muara Takus, upacara-upacara ritual, karya-karya seni, tenun, dan karya-karya budaya lain yang tidak mungkin dicapai melalui politik ataupun ekonomi. Kesadaran inilah yang mesti menjiwai UU Pemajuan Kebudayaan.

UU No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sudah disahkan pada 27 April 2017 setelah mengalami proses pembahasan yang sangat lama: 35 tahun! UU ini merupakan penerjemahan dari amanat Pasal 32 Ayat (1) UUD 1945. Pada fungsinya yang paling mendasar, UU Pemajuan Kebudayaan merupakan suatu cara untuk menjamin keberlangsungan budaya, memberikan perlindungan formal, dan negara berkewajiban menjamin kelangsungan kreativitas budaya masyarakatnya.

UU Pemajuan Kebudayaan menempatkan empat butir strategis (Pasal 1) yang jadi acuan pemerintah untuk memajukan kebudayaan, yaitu upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia, melalui: (1) perlindungan; (2) pengembangan; (3) pemanfaatan; dan (4) pembinaan kebudayaan.

Pelindungan adalah upaya menjaga keberlanjutan kebudayaan yang dilakukan dengan cara inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan, dan publikasi. Inventarisasi dilakukan melalui pencatatan dan pendokumentasian, penetapan, dan pemutakhiran data.

Strategi berikutnya adalah pengembangan, yang berarti upaya menghidupkan ekosistem kebudayaan serta meningkatkan, memperkaya, dan menyebarluaskan kebudayaan sebagai karakteristik masyarakat Indonesia. Adapun strategi pemanfaatan adalah upaya pendayagunaan "obyek pemajuan kebudayaan" untuk menguatkan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dalam mewujudkan tujuan nasional. Terakhir adalah strategi pembinaan, yaitu upaya pemberdayaan SDM kebudayaan, lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan dalam meningkatkan dan memperluas peran aktif dan inisiatif masyarakat.

Sistem data kebudayaan

Dengan disahkannya UU ini, ke depan akan ada sistem data utama kebudayaan yang mengintegrasikan seluruh data kebudayaan dari berbagai sumber dan dari berbagai kementerian/lembaga. Di dalam sistem pendataan kebudayaan terpadu itu berisi tentang objek pemajuan kebudayaan, sumber daya manusia kebudayaan, lembaga dan pranata kebudayaan, sarana dan prasarana kebudayaan, dan data lain terkait kebudayaan.

Sistem yang mengintegrasikan seluruh data utama kebudayaan yang berasal dari berbagai sumber—serta kementerian dan lembaga—ini merupakan hal yang baru. Yang sering kita lihat adalah hasil-hasil penelitian berupa data penting dari lapangan selama rezim Orde Baru hingga rezim pasca-Reformasi hanya jadi pajangan tebal di rak perpustakaan atau buku-buku teks yang jarang dilirik oleh penentu kebijakan budaya.

Dalam hal pendanaan, selain melalui APBN dan APBD, sumber pendanaan kebudayaan lainnya adalah dana perwalian kebudayaan yang dibentuk oleh pemerintah. Dana perwalian kebudayaan adalah sejumlah aset finansial yang dititipkan atau dihibahkan oleh orang atau lembaga untuk dikelola dengan baik melalui sebuah lembaga wali amanat dan disalurkan serta dimanfaatkan untuk kepentingan pemajuan kebudayaan.

Pengesahan UU Pemajuan Kebudayaan merupakan langkah strategis untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi, khususnya di bidang kebudayaan. UU ini memberi kerangka bagi pengembangan strategi kebudayaan nasional.

Perlu komitmen daerah

Namun, ke depan, perlu dikonstruksi dan dirumuskan konsep-konsep ideal operasionalisasinya oleh aparat pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Usaha dan aktivitas kultural, baik di tingkat regional maupun pusat, sudah semestinya bisa berkontribusi secara sosial, mental, dan ekonomis bagi rakyat. Posisi ini mewajibkan pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan usaha dan aktivitas kultural yang menegaskan keseriusan negara dalam mengembangkan dan memberdayakaan kebudayaan.

Hal ini bersumber pada kerelaan pemerintah daerah untuk menjadikan pemajuan kebudayaan sebagai salah satu prioritas penganggaran. Sebab, sudah jadi rahasia umum, kebudayaan masih menjadi elemen marjinal dalam politik anggaran.

Selain itu, pokok pikiran kebudayaan daerah yang dirumuskan pemerintahan daerah, baik yang berupa tradisi lisan, manuskrip, hingga olahraga tradisional, masih belum jadi tolehan kebijakan. Masalahnya adalah kesiapan pemerintah daerah untuk menyiapkan pokok pikiran kebudayaan tersebut.

Apalagi di tingkat daerah belum ada sinkronisasi nomenklatur. Di tingkat pusat urusan kebudayaan berada dalam ranah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan di tingkat kabupaten masih banyak yang tergabung dalam Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Kondisi ini tentu saja akan mempersulit keinginan pusat yang menekankan kemenyatuan proses kultural dan edukasi.

Belum lagi SDM birokrasi di tingkat kabupaten yang lemah dalam hal penelitian sehingga desain pokok pikiran kebudayaan daerah tidak bisa dijamin kualitasnya. Pendataan memang dilakukan, tetapi masih sebatas menjadi arsip dan kurang digunakan dalam desain kebijakan. Pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan terhadap kebudayaan nyaris kurang tersentuh.

Kini sudah seharusnya dinas kebudayaan di daerah memikirkan program-program dan desain yang berbasis keragaman akar budaya dan potensi alam. Jadi, ke depan, dinas kebudayaan tidak sekadar membuat program pengiriman duta kesenian atau mengisi acara kesenian dalam acara seremonial kabupaten/kota belaka.

Dinas kebudayaan di daerah juga berkewajiban membuat rencana strategis terkait pemajuan kebudayaan yang bertujuan memperkuat akar kebudayaan, mendesain rencana strategis berbasis temuan-temuan potensi, dan permasalahan kesenian dan kebudayaan di masyarakat setempat. Jika hal ini tidak dilakukan, peran dinas kebudayaan malah tidak sebanding dengan semangat para budayawan dan seniman rakyat lainnya yang terus hadir dalam menghidupkan dan mengembangkan kesenian mereka sejak lama tanpa kehadiran negara.