WISNU WIDIANTORO

Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyanyikan lagu Indonesia Raya untuk memulai Rapat Paripurna Ke-15 Masa Sidang III 2017-2018 di Ruang Rapat Paripurna DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/1). Dalam pidatonya, PLT Ketua DPR Fadli Zon mengatakan DPR akan melakukan pembahasan 21 RUU prioritas.

Dewan Perwakilan Rakyat menggunakan kewenangannya membuat undang-undang untuk menambah kewenangan lembaga dan memberikan hak imunitas.

Langkah itu absurd. Dalam dunia hukum dikenal prinsip, tidak seorang pun dapat menjadi hakim untuk perkaranya sendiri. Pasti ada konflik kepentingan di sana. Namun, prinsip itu tak berlaku di DPR. DPR membuat undang-undang untuk menambah kewenangannya sendiri.

Pembahasan revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD hampir luput dari perhatian. Hanya soal penambahan kursi pimpinan DPR dan pimpinan MPR yang menjadi wacana. Langkah memberikan kursi pimpinan DPR dan pimpinan MPR untuk partai pemenang pemilu bisa dimaklumi sebagai langkah koreksi DPR sebelumnya. Revisi itu disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Senin, 12 Februari 2018. Dua fraksi, yakni Fraksi Persatuan Pembangunan dan Fraksi Nasdem, walk out.

Di balik wacana publik soal itu, DPR terkesan diam-diam memasukkan sejumlah pasal lain yang bertujuan melindungi anggota DPR dan lembaga DPR dari kritik publik dan jeratan hukum. Langkah DPR itu bisa dipandang sebagai kesewenang-wenangan wakil rakyat atas rakyat yang diwakili. Inilah awal kematian demokrasi di Indonesia.

Tiga kewenangan DPR ditambahkan. Pertama, wewenang DPR memanggil paksa siapa pun dengan ancaman sandera selama 30 hari. Kewenangan kedua, Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dapat mengambil langkah hukum atau langkah lain kepada siapa pun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Ketiga, pemeriksaan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan MKD. Tiga kewenangan itu bisa lolos tentunya atas persetujuan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dalam hal ini diwakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

Pasal-pasal dalam UU MD3 bermasalah dalam sejumlah hal. Pertama, langkah DPR menggunakan kewenangannya sendiri untuk melindungi diri sendiri dan menambah kewenangannya adalah tidak etis. DPR seharusnya tahu, persepsi publik terhadap lembaga itu buruk karena sejumlah kasus yang menjerat DPR. Terakhir, Ketua DPR Setya Novanto ditahan dan diadili karena korupsi. Jajak pendapat Kompas, 31 Juli 2017, menunjukkan 71,3 persen responden menilai citra DPR buruk!

Kedua, terminologi penyanderaan tidak jelas. Apakah penyanderaan identik dengan penahanan atau gijzeling yang dikenal dalam kasus perpajakan. Lalu siapa yang akan menjadi hakim dalam kasus penyanderaan. Ketiga, terminologi merendahkan martabat DPR adalah pasal karet dan multitafsir. Apa beda merendahkan martabat dan penghinaan atau kritik? Apakah unjuk rasa atau kritik rakyat kepada wakil rakyat yang kecewa terhadap kinerja anggota DPR bisa dikatagorikan sebagai merendahkan martabat DPR. Sangat tidak masuk akal ketika rakyat yang mengantar wakilnya menyandang status "Yang Terhormat" kemudian memenjarakan rakyat yang memilihnya.