Tokoh yang kita singgung kali ini Elon Musk, yang salah satu gagasannya tentang transportasi massal futuristik—disebut Hyperloop—pernah kita singgung dalam forum ini beberapa waktu lalu. Kita kembali ke Musk, entrepreneur dan visioner kelahiran Pretoria, Afrika Selatan, tahun 1971 dan kini warga negara AS, karena visinya terkait dengan masa depan manusia, dan ini terkait dengan aktivitas eksplorasi ruang angkasa. Kita tidak lupa akan perusahaannya yang lain—Tesla Motors—yang melahirkan Model S, mobil bertenaga listrik pertamanya yang fenomenal.

Perusahaan miliknya yang didirikan tahun 2002, Space X, tahun 2008 sudah mendapatkan kontrak dari NASA untuk mengangkut pasokan logistik ke Stasiun Ruang Angkasa Internasional. Pada 6 Februari lalu, roket rancangan terbaru Space X meluncur ke angkasa dengan sukses. Roket berkemampuan raksasa ini ia beri nama Falcon Heavy karena kemampuannya mengangkut muatan seberat 64 ton—bobot yang lebih berat dibandingkan pesawat jet 737 yang dimuati penumpang, awak, bagasi, dan bahan bakar (space.com). Roket lain yang bisa mengalahkan daya dorongnya adalah roket Bulan Saturnus V yang terakhir diluncurkan tahun 1973.

Roket Falcon Heavy memang dirancang untuk mengangkut manusia ke ruang angkasa dan menghidupkan kembali kemungkinan misi ke Bulan atau planet Mars. Ya, riwayat dan impian besar seperti inilah yang di satu sisi amat mengagumkan, tetapi di sisi lain membuat kita mengelus dada.

Kita hormat dan mengapresiasi semua yang sejauh ini dilakukan pemerintah (demi pemerintah) yang mengelola negara kita. Namun, alih-alih membuat lompatan katak, acap kali kita merasa kita tak pergi ke mana-mana. Lebih memprihatinkan lagi, pada beberapa hal kita malah berjalan mundur.

Jika kita melihat rentetan kejadian akhir-akhir ini, khususnya terkait dengan persekusi dan aktivitas kekerasan seperti yang terakhir di Yogyakarta, Minggu (11/2), cukup alasan untuk mengatakan kita tidak maju-maju. Sekian waktu dan banyak tenaga serta pikiran habis kita curahkan untuk mengurus kejadian yang membuat pikiran kita terbelenggu.

Sampai kapan terorisme, kekerasan berlatar belakang primordialisme, dan juga perpolitikan, akan membuat kita tak punya energi untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Boro-boro berpikiran ke ruang angkasa menuju Bulan atau Mars, mengurus kebutuhan pokok dan melahirkan rasa aman bagi masyarakat saja kita masih tertatih-tatih.