Mungkin itu prasyarat agar semua yang diutarakan sang Pamomong merupakan suara realitas yang murni. Wejangannya terjaga dari pemutarbalikan fakta yang sering dipermainkan lidah politikus dalam intrik kekuasaan. Realitas yang murni ialah kenyataan yang mendasar, realitas rakyat jelata. Entitas yang kerap dianggap obyek, tetapi dalam potret kebangsaan yang dinamis inilah subyek yang menghamparkan penjelasan fundamental.

Hoax pun menghantui kita seiring dengan perkembangan kondisi sosial-politik.

Untuk mengenali hoax dan daya hidupnya yang subur di kelas sosial menengah-bawah, tidak mungkin hanya mengandalkan opini pengamat yang berkecimpung di forum seminar, studio televisi, dan universitas belaka. Betapa pun mutakhir teori dan analisis yang mereka kutip dari literatur akademis terbaru.

Di dalam abjad, kita memiliki aksara X(x), tetapi seakan-akan tabu digunakan sehingga taxi dimodifikasi menjadi taksidan hoax jadi hoaks. Sebenarnya, bukan soal kalau kedua kata itu dipungut dari bahasa asalnya tanpa perubahan satu huruf pun. Toh, dalam tata fonetis bahasa Indonesia kita mafhum bagaimana pelafalannya. Ketika ada di awal kata, menurut tata fonetis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fonem x dibaca /s/, contohnya xilofon dan xilograf.

Secara umum, hoax diproduksi oleh "pribadi iseng" atau kelompok terorganisasi bukan tanpa sengaja atau tanpa motif yang tegas sejak awalnya. Setelah ditebar di ranah publik, bibit-bibit itu tidak terkendali. Daya hancurnya bekerja secepat bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima hampir 73 tahun lalu. Setelah ledakan besar, radiasi nuklirnya bergentayangan nirwujud menjangkiti manusia hingga bertahun-tahun kemudian.

Menyerang kesadaran

Daya hancur hoax lebih mematikan ketimbang radiasi nuklir sebab yang diserang kesadaran dan daya resepsi intelektual, bukan fisik yang bisa didiagnosis secara medis hingga diketahui teknik pengobatannya. Daya rusaknya berlipat ganda jika "dilegitimasi" di mimbar keagamaan.

Salah satu cara efektif buat mengenali daya hidup hoax adalah dengan memasuki ladangnya, yaitu lingkungan sosial menengah-bawah dan rakyat jelata. Merekalah lahan subur bagi hoax. Tatkala tabir disibak, tersingkap garnisun kepinding dan rayap yang dengan ganas bergotong royong mengerkah struktur kayu hingga merepih tanpa perlawanan. Demikian hoax merusak struktur sosial rakyat jelata, yang pada gilirannya merayap naik, menggerus dan merontokkan kelas sosial mapan yang senantiasa bangga diri dan meremehkan ancaman fatal tersebut.

Kenapa hoax laris di lingkungan ini? Media penyebaran informasi, termasuk kabar yang tidak terkonfirmasi kebenarannya, berupa peranti keras (pesawat telepon pintar) dan peranti lunak (fasilitas internet) bukan lagi barang mewah. Di lorong-lorong sempit Jakarta yang padat dan kumuh hingga kawasan permukiman serupa di kota-kota satelitnya—ini sekadar sampel yang teramati—dapat kita lihat mereka yang irit belanja beras tetap mengutamakan belanja koneksi internet demi hiburan dari media sosial. Hampir di tiap rumah ada minimal satu telepon pintar dan anggota keluarga yang piawai menarikan jemari di layarnya.

Apakah mereka juga menonton televisi? Secara umum, TV menyala di setiap rumah, tetapi kebanyakan kelas menengah-bawah lebih gandrung sinetron, musik pop/dangdut, dan lawak ketimbang siaran berita. Program berita TV sebagai media arus utama, yang dapat dijadikan bahan perbandingan bagi "kabar burung", bagi mereka terlalu formal penyampaiannya karena menggunakan "bahasa tinggi" dan analisis berita yang hanya dipahami para dewa.

Tentang berita koran dan TV, pekerja kantoran yang lebih selektif memilih sumber informasi pun cenderung apriori. Pada umumnya mereka sensitif perihal afiliasi politik pemilik media. Dari perspektif itu, mereka mencurigai kredibilitas berita media tersebut. Alhasil, hoax selalu punya jalan masuk ke lapisan sosial mana pun, di antaranya lewat celah-celah praduga yang tak selalu diuji dan dikaji secara bijaksana.

Kelas sosial menengah-bawah sebagian berlangganan TV berbayar. Mereka rela mengurangi belanja lauk-pauk demi hiburan itu. Paket layanan TV berbayar kian terjangkau oleh berbagai kalangan sebab penyedia layanan ini saling obral diskon akibat persaingan bisnis yang ketat.

Makin berlimpah hiburan, kian jauh mereka dari program berita TV, sedangkan mereka tak mau ketinggalan berita. Maka, media sosial jadi pilihan. Dalam anggapan mereka, media sosial tak mewajibkan kepatuhan pada tata bahasa, etika, apalagi etiket.

Mencari saluran

Dari pengamatan sepintas, tertangkap kesan umum (bukan kesimpulan, karena ini bukan riset ilmiah yang rigid dengan alat ukur eksak) bahwa mayoritas yang aktif menyebarluaskan konten informasi yang tidak terkonfirmasi itu jarang memantau berita dari media arus utama yang dapat dikonfirmasikan. Akademisi lebih patut membuat riset dan kajian tentang hal ini.

Salah satu karakter umum kelas sosial menengah-bawah adalah berkepribadian histeris meski aspek religi seakan-akan menonjol dalam keseharian mereka. Realitas yang muram, ekonomi pas-pasan, di hadapan fantasi mewah yang disuguhkan para selebritas di Instagram, misalnya, membuat histeria jadi saluran untuk menggapai rasa lega dari tekanan hidup. Lewat celah ini euforia hoax merasuki jiwa yang pengap dan jenuh.

Melakukan penyebaran informasi "di luar dugaan" merupakan rekreasi dalam rutinitas hidup yang menjemukan. Asalkan sensasional, sarat histeria, dan insinuatif hingga membuat takjub orang lain, cukuplah untuk membuat si penyebar informasi "merasa ditanggapi" oleh banyak orang. Dia yang kemarin bukan siapa-siapa, kini merasa berjasa turut membongkar aib figur pujaan rakyat demi "moralitas publik", atau "turut menginformasikan" reputasi palsu seorang politikus hanya demi kejutan.

Orang pasti histeris andai ada berita kuda milik Prabowo bisa bicara. Satu versi menyebutkan "seperti berbisik". Versi lain menulis: "komat-kamit seperti berdoa". Jelas ini omong kosong, tetapi banyak orang haus akan sensasi, terutama yang berbau supranatural demi isu politik.

Hoax tentang figur yang kurang penting, tentu, tidak semenarik hoax tentang figur di lingkup kekuasaan atau selebritas tenar. Gosip tentang katak melahirkan katak tanpa melalui tahapan berudu tentu menarik, tetapi jauh lebih atraktif jika yang diceritakan itu katak yang dipelihara Presiden Jokowi di kolam Istana Bogor.

Yang segera beredar bukan soal kebenaran berita itu. Secara ilmiah, itu jelas mustahil. Aspek metaforislah yang lekas merebak dalam bentuk narasi dan meme di media sosial. Para pemuja dan penghujat Presiden Jokowi sama-sama "angkat senjata" di atas hoax. Esensi dieliminasi demi sensasi dan insinuasi yang diperciki provokasi dan agitasi.

Semua pihak yang beradu emosi kompak bekerja sama melakukan tindakan bumi hangus diri sendiri tanpa mereka sadari. Semua itu mereka lakukan di bus kota ketika berangkat kerja, di kereta sesak kala senja, atau di mana pun. Tak terpikirkan malapetaka yang bakal menimpa akibat histeria tanpa suara itu.