KOMPAS/ RIZA FATHONI (RZF)

Pedagang makanan rebusan keliling melayani pembeli di kawasan Jatinegara, Jakarta, Kamis (22/2). Bahan makanan seperti ubi, kacang dan jagung rebus yang murah meriah dan sehat semakin jarang ditemui di perkotaan dan dapat menjadi alternatif pengganti komoditas makanan dari beras dan tepung.

Penganekaragaman pangan masyarakat tidak dapat ditunda lagi. Banyak manfaat akan didapat, terutama dalam meningkatkan kualitas manusia.

Meskipun Indonesia memiliki beragam sumber pangan lokal, konsumsi sebagian besar masyarakat terus bergeser menjadi beras dan gandum sebagai sumber karbohidrat. Apabila pada era Orde Baru kebijakan diarahkan untuk swasembada pangan, meski kenyataannya juga berfokus pada beras, dalam 13 tahun terakhir pemerintah mempersempit menjadi beberapa komoditas, yaitu beras, kedelai, jagung, gula, dan daging sapi.

Keinginan berswasembada pangan dikarenakan, antara lain, mengurangi ketergantungan pada impor pangan, menghemat devisa, dan menumbuhkan kemampuan produksi dalam negeri.

Target itu belum juga tercapai. Penyebabnya bermacam-macam yang sebenarnya juga sudah dikenali, antara lain tidak lahirnya terobosan baru teknologi benih dan bibit yang dapat melipatgandakan hasil serta dapat beradaptasi dengan agroklimat lokal, semakin tergerusnya tanah pertanian subur, juga tidak adanya teknologi baru pascapanen dan pengolahan hasil.

Laporan harian ini memperlihatkan semakin tersisihnya sumber karbohidrat pangan lokal oleh beras dan terigu gandum yang notabene hampir seluruhnya diimpor. Beras menggantikan sumber karbohidrat lokal karena pemerintah menggunakan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan pegawai negeri sipil serta anggota TNI dan kepolisian di seluruh Indonesia karena mudah dalam transportasi dan daya simpannya relatif panjang. Pergeseran selera ke arah beras, yang kelas sosialnya ikut naik bersama naiknya status PNS, semakin dipercepat saat pemerintah menggunakan beras sebagai jaring pengaman sosial. Sementara itu, perusahaan pangan berbahan baku terigu gandum melalui kampanye masif berhasil mengubah selera masyarakat untuk menyukai roti dan mi sebagai pengganti beras.

Kita perlu mengingat kembali tujuan pengadaan pangan. Pangan adalah hak asasi setiap orang dan karena itu jumlahnya harus cukup, terjangkau, dan masyarakat memiliki pilihan. Karena itu, pendekatan kedaulatan pangan lebih tepat daripada swasembada. Untuk itu, perlu disusun kebijakan dan strategi pangan nasional berdasarkan peta produksi dan konsumsi pangan. Peta ini harus dapat memotret daerah serta masyarakat yang kelebihan, cukup, atau kekurangan dan rawan pangan.

Kedaulatan pangan harus diintegrasikan dengan kecukupan gizi yang ditentukan usia, jender, profesi, suku, dan agama. Sebab, kedaulatan pangan berkaitan dengan diversifikasi pangan untuk memenuhi kecukupan gizi.

Mengejar swasembada pangan tidak selalu menguntungkan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk menghasilkan
1 kilogram beras, misalnya, membutuhkan 3.000-5.000 liter air. Kebijakan swasembada pangan juga dapat membuat harga di dalam negeri lebih mahal daripada harga dunia yang membebani konsumen serta belum tentu menguntungkan petani.