KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Umat Buddha mengikuti prosesi memandikan rupang Buddha di Wihara Ekayana Arama, Jakarta, menjelang Perayaan Waisak, Minggu (27/5/2018). Puncak Perayaan Tri Suci Waisak 2562 BE/2018 secara Nasional akan dipusatkan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Umat Buddha, Selasa ini, 29 Mei 2018, memperingati hari raya Waisak 2562/2018. Perayaan hari keagamaan selalu menjadi momentum menyampaikan pesan.

Begitu juga dengan perayaan Waisak tahun ini. Perayaan Waisak menjadi penting untuk mengukuhkan kembali jalinan kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia. Jalinan kebangsaan itu dicoba terus dikoyak demi kepentingan politik praktis kekuasaan. Situasi kebangsaan itu sejalan dengan tema perayaan Waisak 2018, "Bertindak-Berucap-Berpikir Baik Memperkokoh Keutuhan Bangsa".

Negara memberikan jaminan penuh kepada umat Buddha Indonesia untuk merayakannya. Itu adalah satu pesan penting dalam setiap peringatan hari besar keagamaan. Kebetulan, perayaan Waisak 2018 berbarengan dengan ibadah puasa bagi saudara kita yang beragama Islam. Semangat toleransi dan bertenggang rasa itulah pesan lain yang bisa diambil dari perayaan Waisak 2018.

Kebebasan beribadah dijamin konstitusi. Tiga peristiwa suci dari perayaan Waisak terjadi pada satu hari purnama sidi—kelahiran Buddha Gautama 623 SM, pencerahan sempurna 588 SM, dan wafatnya Buddha Gautama 543 SM—tidak selesai hanya dengan peringatan, tetapi menjadi momen refleksi yang hidup. Kemuliaan Buddha dengan ajarannya yang akrab dengan anti-kekerasan dan serba damai relevan dengan kehidupan aktual kita, bangsa Indonesia.

Semangat anti-kekerasan yang menjadi tema sentral hampir semua agama terasa relevan dengan situasi kekinian, khususnya di tahun politik 2018 dan tahun politik 2019. Kekerasan tidak hanya mewujud dalam tindakan seperti aksi teror, tetapi juga kekerasan verbal, ujaran penuh kebencian yang dengan mudah kita bisa dapat di dunia digital. Tahun politik adalah tahun demokrasi. Gagasan pokok dari demokrasi adalah kontestasi gagasan, adu program, dan sangat jauh dari kekerasan.

Kita berharap semangat berkontestasi dalam pilkada dan pemilu presiden dalam koridor demokrasi tidaklah sampai mencabik persaudaraan kita sebagai anak bangsa yang sejak dulu sudah majemuk. Perbedaan agama, perbedaan suku, perbedaan bahasa, perbedaan politik adalah keniscayaan di Indonesia dalam payung Pancasila. Indonesia menjadi indah ketika umat Buddha merayakan Waisak dan pada saat bersamaan umat Islam menjalankan ibadah puasa. Dan, semuanya berjalan berdampingan.

Melalui momentum perayaan Waisak, kita mendorong terus kian terjalinnya persatuan bangsa. Persatuan Indonesia, sila ketiga dari Pancasila, menjadi tempat bertemunya sila-sila lain dari Pancasila. Hasrat untuk tetap hidup bersama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi energi penting, bahkan teramat penting, untuk kian memperkokoh eksistensi negara bangsa.

Memperkokoh persatuan bangsa yang diangkat sebagai tema perayaan Waisak menjadi relevan di tengah kekhawatiran sebagian elite akan terjadinya pembelahan sosial. Kontestasi politik tidak harus membawa bangsa ini terus terbelah. Elite politik punya punya peran besar untuk itu.